Minggu, 22 September 2013

Mimpi Pagi Arini


FLP Ranting UIN Malang & Aura Pustaka


“Dua hari lagi, bersiaplah kau diujung jalan. Aku akan menjemputmu dengan sepeda terbang”
“Jangan bercanda Mas, mana ada sepeda terbang?”
Benar-benar gila kau Mas. Mana ada sepeda terbang di dunia ini. Rupanya kau terlalu banyak makan gaplek . Hingga syaraf otakmu yang bersimpul menggulung, semakin tak berbentuk. Ah, kau gila, dan aku semakin tergila-gila padamu.
 “Sudah siapkah kau menjemput pagi?” Katamu diujung sana.
“Tentu, perutku sudah bosan dengan bongkahan gaplek, adik pun tak henti merengek, mengingatkan biaya sekolah yang menggunung. Kapan kita berangkat menjemput pagi?”
***

Entahlah bagaimana nasib emakku di rumah, apakah anaknya telah bertambah lagi? Saat kutinggal perutnya sudah buncit. Aini adiku yang selalu berkuncir kuda, apakah dia masih tetap bersekolah?
 “Sudahlah , lakukan saja. Aku ikhlas kok” Aku terkesiap. Manusia seperti apa kau Mas. Mudah sekali kau bilang ikhlas didepanku. Rupanya syaraf otakmu semakin bergulung-gulung. Kau benar-benar gila, gila yang akut. Dan kini aku tak mau lagi menggilaimu.
“Kau bisa dapat uang banyak disana, seratus, dua ratus, satu juta, sepuluh juta. kecil” Katamu menyempilkan jari.
“Aku tak butuh uang.
“Haha, Tak butuh uang katamu. Munafik.!!!”
***
Tubuhku remuk tak berbentuk. Satu bulan yang lalu kau datang padaku. Menggamit lenganku dan membawaku dalam senja baruku. Akankah kau menaruh iba padaku Mas. Lihatlah kini aku tak seperti dulu lagi. Aku menolak menjual diriku. Diriku yang selama ini kujaga harus kulempar begitu saja. Lupakan ide gila itu Mas.
Aku menjadi wanita pecinta perkakas rumah tangga sekarang. Wanita baja yang harus siap bekerja apa dan kapan saja. Sebersit elakan dan sebuah kesalahan berhadiah godam neraka untukku. Hanya sebuah piring yang pecah, wanita setengah tua itu mengganjarku dengan garis-garis merah berdarah di punggung.
Lelehan minyak berasa rendang masih ada di sudut bibirku. Aku selalu menikmati sensasi rasa setelah ritual mencuci piring usai. Ada syukur kecil dihatiku. Disini aku bisa merasakan makanan mewah. Hanya rasa tanpa rupa. Aku adalah anjing berkepala manusia. Kujilati piring-piring bekas mereka, hingga lidahku kaku. Aku lapar.
Aku berjalan terseok-seok ke sudut ruangan. Dua kursi kayu yang berdampingan kupaksa untuk berpangkuan. Kuangkat kakiku menaiki punggung kursi. Ah ngilu sekali rasa kakiku. Rupanya setrika mendidih itu berhasil membatasi jalang langkahku.

Aku berjingkat. Tanganku berhasil meraih binatang melata mini itu. Geli rasanya. Kubawa dia di sudut kamar. Kubuka gelungan tanganku. Ha….mata kawan kecilku ini berkedip, merangkak ke pergelangan tanganku. Tenanglah Kawan. Aku terkekeh-kekeh. Tertawa. Menertawai diriku yang mulai lupa seperti apa tawa bahagia.
 “Bagaimana rasanya semalam di neraka gadis desa. Nikmat bukan!” kata wanita setengah tua itu tekekeh. Aku hanya tersenyum sengit. Berjalan cepat meninggalkannya, meski dengan kaki berdarah-darah.
“Mau kemana kau?”
“ Ke dapur”
“Hey pembangkang, dengarkan aku baik-baik. Mulai hari ini ucapkan salam perpisahan untuk piring-piringmu dan semua perkakas rumahku. Aku tak sudi lagi melihatmu”
“Benarkah ucap bibirmu itu, wahai Nyonya besar”
“Iya. Bersiaplah kemasi barang-barang bulukmu dan enyahlah dari rumahku. Ingat jangan lewat depan restoran. Aku tak mau pelangganku melihatmu”
“Kau tak mau mereka tau bahwa kau adalah manusia busuk yang telah menebar aroma kematian untukku?”
Plakkkk!!!!
***
Mas, andai aku tahu dimana kau sekarang pasti aku tak akan menghina seperti ini. Hidup meminta receh dan lembaran uang di perempatan jalan hanya untuk makan. Aku masih ingin hidup dan bertemu denganmu. Aku rasa hidup seperti ini lebih baik daripada berkubang luka di rumah wanita  setengah tua itu.
“Hey cantik, bangunlah!” Sebuah suara menghempaskan mimpiku. Aku menggeliat.
“Mas, benarkah ini kau ?” tanyaku menggila sambil meraba wajahmu
“Iya, ini aku. Bangunlah Cantik. Emperan toko ini tak cocok untukmu”
“Kemana?”
Kau hanya tersenyum. Kau ajak aku menaiki mobil hitam mengkilat. Mulus. Apakah ini mobilmu Mas? Hey kenapa aku baru sadar. Kau telah berubah Mas. Lihatlah dirimu. Berbaju jas dengan kerah biru laut menyembul. Dasi senada menjuntai. Wajahmu pun bersih. Lihatlah itu sepatu pantofelmu menyilaukan mataku. Sangat kontras dengan sandal jepit dan kaki bersisikku. Mas, apakah Kau telah bertemu pagi?
“Mandi lalu tidurlah. Kau tampak lelah sekali. Ganti bajumu dengan baju ini” Kau menyerahkan potongan baju tidur berwarna biru, rupanya kau masih ingat dengan warna itu Mas. Warna langit pagi yang selalu kau ceritakan.
Guyuran air membasahi tubuhku. Segar sekali rasanya. Entahlah sudah berapa hari dingin air tak menyentuh syaraf kulitku. Kubiarkan rambut kumalku mencecap wangi shampo. Tubuhku bagai taman bunga sekarang. Mewangi bersemi.
***
Mas, sebulan tinggal di istanamu,aku merasakan lembayung senja mulai menjauhi hidupku. Kau benar-benar beruntung. Sekarang kau menjadi bos sebuah perusahaan besar di kota ini. Uangmu bermiliar-miliar tersimpan di berbagai bank. Kau tak perlu berjibaku dengan lelehan keringat untuk mendapatkan sesuatu seperti di desa dulu, saat kau menjadi kuli batu.
Kau benar-benar telah menemukan pagimu Mas, kenapa kau tak mengajakku serta? Kau tahu aku sangat merindukan pagi. Atau kau ingin aku mandiri? Menemukan pagiku sendiri. Kalau begitu beritahukan padaku dimana pagi berada.
“Mas kapan Kau akan menikahiku?” kuberanikan diri bertanya padamu saat malam mulai menusuk.
“Menikahimu??
***
 “Tinggalah disini, banyak wanita sebayamu. Kau pasti senang. Katamu dengan kerling mata.
“Tempat apa ini?”
“Masuklah” kau menggandengku pelan. Kita berdua serupa perindu cinta yang hendak mencatatkan diri sebagai satu raga. Serasi. Apa kau merasakan juga Mas?
Euforia udara menyatu dalam helaku. Segar. Sangat berbeda dengan hela yang kususuri di jalan-jalan. Beberapa kotak-kotak kayu terbuka. Apa aku tak salah lihat?  Mereka ini manusia atau bidadari? Satu dari wanita jelita itu menyapamu Mas. Hormat.
“Shara, apakah Pak Handoyo sudah tiba?”
“Belum, tunggu saja di kursi hijau itu.Kata jelita bernama Shara
Mataku terpaku pada lampu jumbo bercecar kerlip di atasku. Betapa terangnya. Ia tak sendiri ada cahaya-cahaya mini menyembul di celah-celah plafon menemani tugasnya menerangi ruangan.
“Kenapa lampu ruangan tetap menyala Mas? padahal matahari belum lelah menebar cahaya”
“Tak ada matahari, di tempat ini hanya ada rembulan. Tempat ini akan gelap bila tak ada lampu.
“Tak ada matahari ?” Aku terkesiap.
“Disini hanya ada malam yang tak pernah terengah menjemput siang
“Aku ingin pagi Mas, bukan malam. Apa kau sudah lupa?”
***
Aku mematut-matut diri di cermin. Aku cantik. Tak beda dengan Shara bidadari jelita yang kutemui tempo hari. Apa aku telah menjadi bidadari?
“Ya, kau telah menjadi bidadari sekarang” ebuah S suara serak menyusup di gendang telingaku.
“Siapa kau?” tanyaku pias.
Wanita ini benar-benar mengerti pikiranku. Apa dia juga bidadari? Kalaupun ia bidadari mungkin ia bidadari yang malas berhias. Tak ada rona pipi dan gincu di bibirnya, sepertinya ia sudah terlalu lama tak tersentuh bubuk bedak. Hanya mata tajam dan hidung mancungnya yang mengatakan padaku ia cantik. Cantik yang sederhana.
“Kau senang tinggal disini Arini?Tanyanya padaku.
“Tentu. Disini aku menjadi bidadari” Kataku berbinar
“Pergilah, kesenanganmu hanya kamuflase. Kau akan menyesal!” kata wanita itu tegas.
“Kau salah, aku tak akan pernah menyesal. Karena sebentar lagi aku akan bertemu pagi”
“Pagi yang kau cari tak ada disini, kau hanya akan menemukan senja. Senja kelam yang bergerak malam”
***
“Sudah siap cantik?Kata lelaki tanggung itu. Meringsek mendekatiku setelah sebelumnya mengunci kotak kayu.
“Cukup Handoyo ! Aku bukan istrimu!”
“Apa kau tak ingin bertemu pagi Cantik”
“ Ini bukan pagi keparat! Ini gulita !”
“Diam! Aku membayar mahal pada Dandi bukan untuk mendengar ocehanmu tapi tubuhmu”
Lelaki itu mendengus-dengus mendekatiku. Ia benar-benar babi berkepala manusia di mataku. Berkali-kali kucoba lepas dari cengkramannya. Tak ada guna. Tubuh cekingku tak sebanding dengan babi laki-laki tambun  itu. Dia mengunciku dengan tangan kekarnya.
“Tolonnggggg”
“Hahhahahhaha…..percuma kau melolong cantikku”, tak ada yang mendengar. Disini semua telinga tuli hwehewhehee” Ia masih terkekeh dengan liur meleleh-leleh.
Dia memcoba mencuri bibir perawanku. Ahhhh….Aku benar-benar risih. Muak.Jijik. Kutendang senjata keramatnya dengan sisa tenaga. Dia mengaduh tak karuan. Melompat-lompat serupa kelinci.  Aku bisa keluar dari cengkraman babi busuk itu. Kubuka kotak kayu. Terbirit-birit meninggalkan Handoyo dan birahinya yang meletup-letup.
Entahlah sudah seberapa jauh aku berlari hingga aku terhenti di sebuah danau dengan bebatuan pualam. Kubasuh mukaku dengan air yang bening. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Kubiarkan simfoni alam dan partikel air merasuki tubuh letihku.
“Arini, masihkah kau mengenalku?”
“Wanita cantik sederhana” Kataku takjub. Bagaimana ia tahu aku disini?
“Apakah Handoyo menyentuh mahkotamu?”
“Tidak, aku berhasil menumbangkan babi gila itu” Kataku bangga
“Syukurlah, Pergilah Arini. Jemputlah pagimu” kata wanita cantik sederhana itu seiring langkahnya menjauh dariku.
“Tunggu !!!! Wanita cantik sederhana, jelaskan padaku tempat apa ini, kenapa seluruh gadis disini tuli, seluruh pria berkepala babi dan semua orang tak berhati nurani?”
“Pulau ini adalah pulau birahi, seluruh gadis yang dikirim ke pulau ini dipaksa untuk memenuhi nafsu pria-pria kurang bahagia. Pria yang hanya mendewakan tubuh wanita semata. Pulau yang dipenuhi dengan manusia yang berotak menggulung dan bersimpul mati. Tak ada lagi hati nurani.” Papar wanita cantik sederhana.
“Lalu kenapa bidadari-bidadari cantik itu tuli?”
“Mereka tidak tuli tapi terpaksa tuli, agar ia tak semakin disakiti oleh pria-pria yang menikmati tubuhnya. Pria-pria itu sudah membeli tubuh mereka dengan harga tinggi untuk diperlakukan sesuka hati. Wanita cantik sederhana menyusut mata basahnya.
“Apakah mereka tidak pernah melawan?”
“Tak semua wanita punya jiwa pembangkang dan pemberani sepertimu Arini, bagi mereka uang bayaran yang tak seberapa jauh lebih penting” kerling mata wanita sederhana itu menusuk mataku.
Tak semua lelaki  berhati busuk wahai gadis cantik sederhana. Aku punya lelaki yang baik. Suatu saat nanti kukenalkan kau padanya”
“Hahhahha….Dandi baik kau bilang?
Dandi? Bukankah ia nama lelaki yang disebut Handoyo. Laki-laki yang berniat menukarkan kesucianku dengan uang. Dandi…Mas…
“Iya Arini, Dandi, itulah nama lelaki yang kau agungkan” Lagi-lagi wanita cantik sederhana ini mengerti titian pikirku. Aku terkesiap. Benarkah?
“Dimana dia sekarang?”
“Dia sudah kuantarkan ke neraka tadi pagi”.
“Apa? Apakah ia benar-benar telah mati?” Aku tergugu
“Ia mati di bawah pohon cendana dengan seikat tali dan sebotol obat nyamuk”
Mas,  kau tega padaku. Kau balas cintaku dengan nyanyian syetan. Kesucian diri yang mati-matian kujaga untuk kupersembahkan padamu. Kau nodai dengan tingkah iblismu. Sudahlah , lakukan saja. Aku ikhlas kok, terngiang kata-katamu Mas. Apakah kau mati dengan ikhlas? seikhlas kau jual keperawananku?
“Pergilah Arini, pulanglah ke rumahmu. Ibu dan adikmu tak henti memimpikan hadirmu”, kata perempuan cantik sedehana sambil mengusap lembut rambutku.
“Katakan padaku wanita camtik sederhana dimana aku harus mendapatkan pagiku” Harapku.
“Pagimu ada di tanah kelahiran dan hatimu. Bekerja keraslah. Jangan biarkan semangatmu surut. Hadirkan sejuk dan indah pagi di hatimu. Kau akan mendapatkan pagi indah sepanjang usiamu. Yang terpenting jagalah mahkotamu hanya untuk lelaki sejati yang berani menikahimu”  Bisik wanita cantik sederhana. Bisikan itu mengalun indah memasuki relung hati dan celah pori. Membuatku serasa lahir kembali. Lahir sebagai bidadari.
“Siapa kau sebenarnya wanita cantik sederhana?”
“Akulah malaikat pagi yang kau cari. Pergilah, bekerja keraslah, kelak aku akan datang lagi mengantarkan sebongkah pagi. Aku tercenung meretas kepergiannya menyatu  ke langit biru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar