![]() |
Suara Akademika yang Memuat Jalanan Bentang |
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berdiri tepat di depan
pintu perjuangan, mengamati halaman dan ruang kelas yang masih lenggang. Baru
jam enam pagi, pastilah belum ada satu pun muridku yang datang. Gurunya saja
belum, Ah setidaknya sejak kuterapkan sistem potong gaji dua puluh persen untuk
guru yang terlambat, tak ada lagi guru yang datang melebihi pukul tujuh.
Ya, ini adalah sekumpulan kotak-kotak keilmuan, dimana seseorang
yang disebut murid belajar dan seseorang yang disebut guru mengajar. Mencari
dan memberi ilmu. Memberi untuk mencerdaskan bukan hanya karena menggugurkan
kewajiban dan yang penting gajian. Gaji, jangan tanyakan tentang itu, malu aku
menjawabnya. Gaji guru disini hanya dua ratus ribu sebulan. Jauh sekali dari
kata mapan.
Bagiku tak masalah, berapapun gaji yang kuterima disini, dua ratus
ribu, meski hanya cukup untuk bensin dan pulsa sudah kusyukuri, setidaknya aku
tidak minta lagi pada emakku yang mulai menua karena usia. Untuk urusan makan,
aku bisa makan di rumah, makan masakan emak yang enaknya tak tertandingi dibandingkan
warung lesehan seberang jalan itu.
Emak tidak pernah bertanya berapa gajiku mengajar disini, ia juga
tak pernah meminta dibelikan sesuatu dari uang mengajarku. Baginya melihatku
bangun pagi, berpakaian necis. Setelan batik dan celana hitam, menenteng tas
dan bersiap mengajar adalah kebanggaan. Bukan mengajar, tapi memimpin lebih
tepatnya. Ya, di sekolah ini aku bukanlah guru tapi kepala. Semua orang yang
ada di sekolah ini adalah tubuhku. Kelangsungan sekolah ini ada ditanganku,
esok mereka belajar atau tidak, semua keputusan ada padaku. Aku. Satu.
Aku memang sengaja. Mengambil alih semua tugas vital sekolah ini.
Bukan karena aku sok kuasa, merasa paling bisa atau tak percaya pada kawan guru
lainnya. Aku hanya ingin membenahi, membentuk budaya, mempercepat kemajuan.
Bukankah untuk kemajuan lembaga yang pesat, adanya kepemimpinan terpusat dan satu
komando itu efektif? Selayaknya Soeharto
dengan orde barunya dan Mahattir Muhammad dengan revolusi Malaysianya.
Tak pernah sekalipun aku bermimpi menjadi orang nomor satu di
sekolah ini. Orang nomor satu? Ah itu terlalu prestisius, macam presiden saja.
Kepala sekolah sajalah. Lagipula aku lebih senang disebut Pak Guru daripada Pak
Kepala Sekolah. Pak Guru, digugu lan
ditiru. Sebutan sederhana namun sarat makna. Kembali pada mimpi, sekalipun
aku tak pernah bermimpi berada di tempat ini, Dulu setelah pensiun dari jabatan
mahasiswa, aku berniat mewujudkan mimpiku, menjadi politisi. Politisi yang
seperti apa? Aku juga tak tahu.
Bagiku masa itu, menjadi politisi muda adalah kebanggaan,
mengungkap kebenaran dari kubangan kebusukan adalah perjuangan. Sepertinya
keren, memakai jas, berdasi dan koar-koar di televisi mengumbar janji Tak hanya
janji manis, aku pasti bisa jadi politisi yang professional dan bersih tentu
saja, yakinku kala itu. Akhirnya, mimpi itu terbang terbawa angin sore tanpa
bisa kukejar kembali. Aku hanya pandai beretorika tanpa tahu harus kemana mewujudkannya.
Mungkin inilah yang bernama jalan hidup Kawan, tanpa sadar aku
kembali ke jalan itu, setelah lama berkelana pada impian tanpa kepastian, impian
absurd khas pemuda. Aku kembali pada jalanan yang sempat kulewati saat aku
pergi. Jalan yang membesarkan keilmuan remajaku, jalan yang membuatku mantap
pada agama, mengajarkan aku tentang hidup dan kehidupan, bahwa semua yang
bermula pasti menemui akhirnya. Di jalan inilah kuakhiri impian politisku dan
memulai mimpi baru, menghadapi kehidupan yang sebenarnya, Mulai berpikir
realistis.
Bermula dari tenaga tata usaha, setiap hari berkuatat degan
tumpukan kertas administrasi dan computer usang. Kerja banyak, gaji mepet. Agak
kaget memang, tapi apa boleh buat. Kalau tidak begini aku hanya akan jadi
pengangguran. Genjrang-genjreng di pinggir jalan, bisa mati jantungan emakku
nanti.
Hanya beberapa bulan saja menduduki kursi tata usaha, aku
dipangggil Kyai Rusman, beliaulah pemimpin di pondok ini. Ketar-ketir aku,
salah apa? adakah yang belum kuselesaikan? Kumantapkan kaki menghadap, meski di
depannya aku tak mampu bersitatap. Dan tahukah apa yang beliau titahkan
kepadaku? Menjadi kepala sekolah, Kawan!
Ide gila, ya ini ide gila kehidupan. Mana mungkin aku yang lulusan Pendidikan Agama Islam STAIN menjadi kepala sekolah sebuah SMK?
Menurut beliau, hanya akulah satu-satunya tenaga muda di sekolah
ini, guru yang lain sudah berumur dan beranak pinak, sudah mulai malas
berpikir, malas berinovasi.
“SMK ini butuh pembaharu Nak, tak ada lagi yang pantas selain kamu”
kata beliau sore itu.
Aku? Tertunduk begitu lama sejenak kemudian mengangkat muka dan
mengangguk perlahan. Entah siapa yang memerintahkan tubuhku menggangguk, Kyai
Rusman menepuk pundaku dan menyunggingkan senyum. Ah, bagaimana bisa aku
menolak amanat dari lelaki itu. Lelaki yang kuhormati layaknya bapakku sendiri.
Bahkan, tak hanya aku seluruh manusia yang hidup di kota ini hormat padanya.
Bagaimana bisa aku menolak?
Kukatakan pada emak, bahwa anak lelakinya kini telah naik pangkat
menjadi kepala sekolah. Dan beliau menangis. Tangis yang membuatku tahu bahwa pundaku
tak lagi seringan dulu, bahwa aku tak lagi pemuda seperti dulu. Ada yang harus
aku rubah dari gaya hidupku, ada wibawa yang harus aku tambah beberapa persen
setiap paginya. Ada tugas-tugas baru yang lebih rumit dari biasanya.
Sore itu, aku kembali menemukan keyakinan, bahwa tak ada yang salah
dalam hidup, meski tak sesuai impian. Jalan hidup sudah dibentangkan. Inilah
jalan hidupku, dan aku harus melewatinya. Ternyata benar, tak mudah menjadi kepala, kepala yang basah duluan
bila hujan, kepala yang tertempa matahari lebih cepat kala siang, juga kepala
yang paling sering gatal tersiram debu angin-angin. Ada saja guru yang
mengacuhkanku, melemahkanku. Kuakui, secara usia dan pengalaman di dunia
pendidikan aku jauh di bawah mereka. Mereka yang mengajar bertahun-tahun, menua
di sekolah ini, tetap saja menjadi guru, sementara aku, anak kemarin sore sudah
menjadi atasan. Ah, dunia memang tak adil bagi mereka. Juga bagiku.
“ Wah Pak Wildan, semalam malam mingguan ke alun-alun ya?” sapa Bu
Tatik pagi itu saat aku berdiri dimuka gerbang, mengulur tangan untuk anak-anak
yang akan masuk ke ruangan
Aku hanya diam, memerah. Semalam aku, Rudi dan Wandi memang ke
alun-alun kota, sekedar menghabiskan malam, menikmati motor dan mobil yang
berjejal, klakson yang bersahut-sahutan, juga anak-anak yang merengek minta
dibelikan mainan. Ditemani secangkir kopi aku melepas rindu pada suasana
cangkrukan malam Minggu. Hal yang sudah tak pernah kulakukan sejak aku menjadi
kepala sekolah. Dan pagi ini, Bu Tatik dengan semena-mena merusak kesenanganku,
di depan anak-anak didikku.
“ Bu Tatik, tolong ya jangan ulangi lagi kata-kata ibu tadi pagi di depan anak-anak”, “saya harus professional Bu, disini saya kepala sekolah diluar saya pemuda biasa, Ibu tahu kan maksud saya?” Bu Tatik pun menggangguk. Kulihat segaris senyum dibibirnya. Senyum kelucuan. Ya. Mungkin lucu bagi beliau, tapi inilah diriku. Apa adanya aku, pemuda biasa yang belajar menjadi lelaki dewasa dengan tugas yang tak biasa pula bagi pemuda. Tapi aku yakin aku bisa.
“ Bu Tatik, tolong ya jangan ulangi lagi kata-kata ibu tadi pagi di depan anak-anak”, “saya harus professional Bu, disini saya kepala sekolah diluar saya pemuda biasa, Ibu tahu kan maksud saya?” Bu Tatik pun menggangguk. Kulihat segaris senyum dibibirnya. Senyum kelucuan. Ya. Mungkin lucu bagi beliau, tapi inilah diriku. Apa adanya aku, pemuda biasa yang belajar menjadi lelaki dewasa dengan tugas yang tak biasa pula bagi pemuda. Tapi aku yakin aku bisa.
Seluruh hariku kuhabiskan untuk memperbaiki pondasi sekolah ini
yang rapuh disana-sini. Pondasi kurikulum, pondasi keuangan, juga pondasi
professionalitas. Membuat proposal pengajuan dana untuk instansi-instansi yang
peduli pendidikan. Bukan mengemis dana tapi aku dan sekolahku membutuhkannya.
Mungkin kau tak percaya bahwa seluruh murid disini bebas biaya. Mereka hanya
perlu membawa sayuran dan bahan makanan untuk kelangsungan hidup di pondok
saja. Selebihnya untuk sekolah, seragam dan pernak-pernik keilmuan lainnya
gratis. Tak percaya?
Itulah sebabnya, gaji mengajar disekolah ini tak seberapa, banyak
guru yang malas mengajar karena tak menghasilkan uang yang layak untuk
kehidupan. Karena itulah kuberlakukan kebijakan potong gaji dua puluh persen
bagi keterlambatan. Kejam memang, tapi inilah pendewasaan. Harus belajar ikhlas, meski ada yang pernah bilang padaku, ikhlas
hanya dimiliki mereka yang buang air! Aku tahu, semua ini memang tak sepadan
jika dinilai dengan uang, mungkin inilah yang bernama pengabdian dan perjuangan
Kawan. Semuanya memang butuh uang, tapi tidak semua bisa dinilai dengan uang.
Ah, sudah jam tujuh rupanya. Aku tak sadar anak-anak mulai memasuki
kelas ini. Dan aku sudah terlalu jauh berjalan bersama kenangan. Kenangan
tentang perjuangan dan realita kehidupan. Inilah jalanan yang dipilihkan
untukku, bentang jalanan keilmuan.
cerpen ini dimuat di Majalah Suara Akademika Edisi XVI/ Januari-April 2013
Kalau kamu mahasiswa UIN Malang, bisa lho ngirim cerpen atau artikel kamu disini suaraakademika@gmail.com.
Di suara akademika selalu ada tema tiap edisi dan batas akhir kirim tulisan. Jadi kamu pantengin deh pengumumannya. Biasanya di halaman terakhir bagian bawah.
Lagipula Suara Akademika dibagikan gratis kan? Jadi rugi banget kalau kamu nggak baca plus nggak berkontribusi.
Waktu itu dapat informasi dari Mas Fahrizal Aziz. Salah satu redaktur di Suara Akademika, "Rizza cerpen kamu dimuat di SA. Selamat ya!" begitu katanya di sms
Kaget bo! Sueneng banget! Ini cerpen pertama yang nangkring di media masalahnya. Jadi besokannya langsung deh berburu SA di seantero UIN ^_^
Ada honornya. Per halaman pasca cetak jadi majalah 100.000.
Cerpen ini dua halaman jadi 200.000 ^_^
Honor bisa diminta langsung di kantor kemahasiswaan. Menemui Pak Sabar
Selamat berjuang di UIN Malang!
dari kakak tingkatmu angkatan 2010 ^_^
Salam Kenal
Rizza Nasir
Selamat berjuang di UIN Malang!
dari kakak tingkatmu angkatan 2010 ^_^
Salam Kenal
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar