Sabtu, 14 Mei 2016

CERPEN FREELANCE (Malang Post, 15 Mei 2016)

FREELANCE
Rizza Nasir
(masih asli dari file saya, belum lihat cetaknya) 
“Kenapa kamu tak daftar tes pegawai negeri kemarin Mas?” tanyanya, entah sudah yang keberapa, aku sengaja nyelonong meninggalkannya. Percuma aku menjawab pertanyaannya, dia pasti bertanya lagi, lagi dan lagi.
“Dimaass! Kamu dengar aku nggak sih?” mulai ngambek, seperti biasa dan memang aku sudah terbiasa. Ya, meskipun aku harus punya stok sabar yang berlebih untuk menghadapinya.
Kata orang perempuan memang begitu, butuh diberi perhatian, butuh segudang kesabaran. Tentu saja, sesabar-sabarnya perempuan, emosinya pasti tidak stabil, berapapun usianya. Terlebih saat PMS. Jadi lelaki harus sabar menghadapi perempuan, segarang-garangnya lelaki harus sabar pada perempuannya. Bukankah begitu? Setuju?
Baiklah, kali ini kujelaskan mengapa Septi begitu uring-uringan akhir-akhir ini. Bukan! Bukan karena mendekati tanggal menstruasi, tetapi karena aku sengaja tidak menyetor berkas persyaratan tes pegawai negeri. Itu saja.

Kamis, 17 Maret 2016

Cerpen Jarit Kembang Kanthil (Radar Malang 6 Maret 2016)

Malang sudah nyaris menjadi kota metropolis. Aku tak pernah tahu mengapa hanya jalan raya sepanjang ITN, lalu belok kiri ke Jalan Gajayana yang menjadi akses satu-satunya menuju rumahku. Jika ada alternatif lain tentu aku tak akan semenderita ini. Suara klakson sudah banyak memekik, tapi aku diamkan saja klakson mobilku. Aku tahu ini tidak akan sedikit pun mengurai kemacetan. Sudah setengah jam aku terjebak, hanya maju beberapa putaran roda lalu berhenti lagi. Macet kali ini sungguh menyebalkan. Meski tak lebih macet dari musim liburan tahun baru yang lalu. Jalan Gajayana memang pusat kemacetan jika sore begini. Jam pulang kerja dan pulang kuliah. Wuih, luar biasa macet.

Mataku tertuju pada seorang perempuan lima puluh tahunan yang sedang melayani pelanggan di tepi jalan. Rambutnya digelung dan masih mengenakan jarit yang dililit dengan stagen. Oh, aku jadi teringat ibuku di Solo. Cara ibu berdandan sehari-hari, persis penjual jamu itu. Jarang sekali ada penjual jamu gendong seperti sore ini. Tanganku melambai memanggilnya. ”Jamu Bu, brotowali campur kunir ada?”
”Ada Pak,” kata penjual jamu itu, lalu menuangkan jamu pesananku di gelas. Lalu dia tergopoh-gopoh mengantarkannya ke mobilku. Aku meneguknya. Hmm. Pahit asam. Persis seperti ramuan brotowali buatan ibu.

Kuamati serius kain jarit yang dipakai penjual jamu itu, sepertinya tidak asing.Ya, tak salah lagi, itu jarit kembang kanthil! Ya, benar! Jarit kembang kanthil!

Sabtu, 08 Agustus 2015

CERPEN GADIS DI BAWAH POHON PISANG (MALANG POST 9 AGUSTUS 2015)

GADIS DI BAWAH POHON PISANG
Rizza Nasir

Gadis itu, entah siapa namanya, tapi aku masih sangat ingat wajahnya, raut ketakutannya, dan gigil tubuhnya. Aku masih ingat semuanya. Gadis itu, dimana dia sekarang  ya? Dulu aku melihat lesung pipit menyembul dari pipinya yang lesap oleh air mata. Lesung pipit itu cukup membuatku terhibur, meski  sejujurnya malam itu aku ingin kabur.

***
Waktu itu 2005. Aku baru saja menyelesaikan tugas kuliahku, baru saja aku mengerjakannya bersama Ardi, teman paling kental di kelasku. Waktu itu sudah pukul sepuluh malam. Sebenarnya belum terlalu malam bagi lelaki muda seperti kami, masih sore malah, tapi karena kami ingat besok mata kuliah jam pertama setengah tujuh pagi itu diampu oleh dosen yang amat galak, telat semenit saja kami tak dianggap masuk  kuliah. Kami tentu keki untuk menyengaja mengolor waktu berangkat kuliah seperti sebelumnya, kami lebih memilih bangun pagi dan tidak tidur lagi demi dosen yang menakutkan itu. Kalau aku mau sebenarnya aku bisa bolos kuliah, tapi itu akan membuatku tidak lulus dan harus mengulang tahun depan. Ah pasti semakin menumpuk saja beban emak di rumah. Jadi ini bukan karena aku takut dosen galak itu ya, tapi aku takut emak kecewa.

Niatku malam itu, Pulang lalu tidur, agar pagi harinya aku bisa bangun pagi dan tidak ngantuk lagi, tapi Tuhan malah mempertemukan aku dengan gadis itu, entah siapa namanya, duduk memeluk lutut di bawah pohon pisang.  Malam memang sedang ricis, sejak Maghrib tadi belum juga berhenti. Jadi aku paham mengapa gadis itu menggigil begitu hebat. Pohon pisang memang tak terlalu baik menahan air hujan meski dulu sebelum payung terkenal di Indonesia, daun pisang adalah andalan pelindung hujan, tapi ternyata selayar daun pisang dan satu pohon pisang berbeda  kemampuan memberi perlindungan dari hujan.

Aku melihatnya dari kejauhan, semakin lama semakin dekat, malam itu aku hanya jalan kaki. Tak ada sepeda motor ataupun sepeda. Emak dan adik-adik lebih butuh banyak uang. Syukurlah Tuhan memberiku dua kaki yang kuat diajak berjalan. Aku berjalan mendekat padanya. Kudengar sedannya di antara ricis hujan. Gadis itu menangis! Pilu sekali kedengarannya!
Aku tak tega berlalu begitu saja. Kuberanikan diri  bertanya padanya, “Dek, rumahnya mana? Kok malam-malam disini sendirian? Mari saya antar pulang! Aku menawarkan bantuan.
Gadis itu tergeragap, dua langkah menjauhi deretan pohon pisang lalu bergeming disitu, sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih menunggu, dia menerima tawaran dariku.

“Saya disini saja, saya nggak mau pulang”

“Kenapa? Ini  sudah malam, hujan pula, bapak ibumu pasti mencari kamu. Jangan takut, mari Mas antar” aku menyebut diriku untuknya mas, karena sepertinya seusia dengan adikku di kampung.

“Enggak saya nggak mau pulang huhuhu”

“Kenapa? Nanti kalau ada hantu gimana? Kalau ada penculik anak-anak gimana? Ayo pulang saja”
 Aku menakut-nakutinya. Adikku di rumah biasa kugoda begitu, tentu saja aku girang kalau adikku ketakutan.  Tapi rupanya gadis itu berbeda, dia tak takut sama sekali. Dia malah mendekat kembali ke pohon pisang dan berjongkok menekuk lutut seperti tadi. Ingin rasanya aku pulang saja, tapi bagaimana dengan gadis ini.

Usianya mungkin sepuluh tahunan, rambutnya ikal panjang, memakai daster pendek motif bunga. Tak terlalu gemuk, tapi juga tidak kerempeng. Aku bingung  harus bagaimana dengan gadis itu. Dia hanya terdiam dan terisak sementara aku mematung di depannya.  Aku mencari-cari tempat yang  lebih nyaman daripada di bawah pohon pisang, tapi tak ada. Tak mungkin berteduh di beranda orang malam-malam begini. Tak ada pos kamling pula di daerah ini. Aku  mendekat padanya.  Ikut jongkok di sebelahnya. Di bawah pohon pisang.

Melihatku mengikuti lakunya duduk di bawah pohon pisang, gadis itu terdiam dari isaknya. Dia menatapku lalu menjauh beberapa langkah “Aku tak akan jahat padamu Dek, sini nggak apa-apa. Mas takut kamu diculik penjahat, jadi kalau kamu nggak mau pulang, ya sudah Mas temani kamu duduk disini” kataku meyakinkannya, bahwa aku benar mas-mas yang baik-baik.
Akhirnya gadis itu kembali ke tempat semula, masih jongkok di sampingku. Kami diam lama. Hanya suara ricis hujan, kodok dan kesuweng yang terdengar. Di atas sana gelap, hanya ada satu dua bintang yang mencoba menerobos hujan. Hmm... benar-benar simfoni malam yang mencekam.

“Mas, rumahnya dimana?” tanya gadis itu tiba-tiba

“Oh, saya nge kost di gang lima”

“Kok lewat sini?”

“Iya, tadi habis dari rumah teman, hehe” Aku hanya berhaha hehe menjawab pertanyaannya, sejujurnya aku bingung harus bagaimana dengan gadis ini, masih sepuluh tahunan, sendirian, malam-malam dan tak mau diantar pulang dan jiwa lelakiku mengatakan, aku tak boleh membiarkan dia sendirian.

“Mas, punya bapak tidak?”

“Punya” 

“Punya ibu?’

“Punya, di kampung , tinggal sama bapak”

“Enak ya, punya bapak sama ibu”

“Memangnya orang tua kamu sudah meninggal?”

“Belum, ada di rumah”

“Lalu?” aku ingin tahu

“Bapak sama ibu berantem terus, setiap hari berteriak-teriak, setiap hari ada saja piring pecah di rumah, setiap hari aku tidak betah di rumah” Aku terus mendengarkannya, meski aku tak tahu harus bagaimana, tapi kadang orang tak butuh solusi, ia hanya butuh didengarkan bukan?

“Aku nggak mau pulang lagi ke rumah! Aku mau minggat!” katanya lantang

“Apa, minggat?” aku terperanjat, “ jadi kamu sejak tadi di bawah pohon pisang ini ceritanya minggat dari rumah begitu?” tanyaku penuh selidik

“Iya! Biar saja! Buktinya mereka nggak mencariku kan?”

“Bagaimana kamu tahu mereka tak mencarimu? Mungkin saja sekarang mereka sedang kebingungan mencarimu. Makanya ayo aku antar pulang!”

“Sudah kubilang aku mau minggat Mas, jangan ajak aku pulang lagi!” Gadis itu berteriak kasar padaku, kalau itu adikku sendiri, pasti sudah kutabok mulutnya, kasar sekali pada orang lebih tua, tapi masalahnya gadis itu orang lain, aku hanya bisa melotot melihatnya.

“Kenapa? Mas marah ya aku bilang kenceng tadi? Nggak sopan ya?”

“Iya seharusnya kamu tidak begitu sama orang yang lebih tua!
“Cih! Selalu begitu, selalu anak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua, tetapi yang lebih tua mana pernah menghormati yang lebih muda? Biasanya selalu memperlakukan kami seenaknya”

“Maksud kamu? Enggak ya! Saya menghormati yang lebih muda juga, adik-adik saya, kamu juga, saya menghormati kok”

“Tapi ayah dan ibuku tidak! Mereka selalu menganggapku anak kecil, mereka selalu memperlakukan aku seenaknya”

“Jangan begitu Dek, mungkin kamu yang belum paham apa maksud dari orang tuamu itu” aku berusaha meluruskan

“Belum paham apanya, aku disuruh ini dan itu, menyapu, ngepel, bantuin masak, setrika. Aku ini anak atau pembantu sih. Ibuku seperti memanfaatkanku, mentang-mentang aku anaknya beliau selalu menyuruhku seenaknya. Ibuku tak pernah peduli aku sedang capek atau ingin nonton tivi. Kalau aku menolak permintaannya, ibu selalu bilang kalau anak itu harus nurut sama orang tua, nggak boleh mbantah, kalau mbantah nanti masuk neraka” aku hanya terpekur mendengar ucapannya.

“Memangnya surga dan neraka itu cuma milik orang yang lebih tua apa? Hingga mereka  seenaknya mencomot dua kata keramat itu untuk mengancam yang lebih muda” Gadis itu masih meneruskan kalimatnya.

“Surga dan neraka itu milik Tuhan Dek, kita sebagai manusia hanya harus berbuat baik, biar Tuhan yang menilai kita pantas masuk yang mana” kataku mencoba berargumen.

“Lha iya” gadis itu bersungut-sungut

“Bapak sama ibuku di rumah yang suka berantem itu, mereka masuk surga atau neraka?” tanyanya padaku.  Aku hanya mengangkat bahu dan mengarahkan telunjuk ke langit.

“Mereka selalu membuatku menangis setiap hari, mereka selalu berteriak-teriak,   menggertak, menggebrak meja dan melempar apa saja, di rumahku serasa neraka Mas! Oh iya, kata Bu Guru surga itu ada di telapak kaki ibu, apakah ada surga di bawah telapak kaki ibuku yang suka menyuruhku seenaknya dan mengancamku?” Oh Tuhan, harus kujawab apalagi pertanyaan gadis ini. Kuakui dia lebih dewasa dari usianya yang sepuluh tahunan.

“Kamu sayang sama bapak dan ibumu? Tanyaku padanya

“Tentu saja! Aku harus sayang sama orang tua jika ingin jadi anak-anak surga! Bu Guru bilang begitu, tapi... tapi bapak ibuku tak menyayangiku Mas, makanya aku mau minggat saja!”

“Kok kamu tahu bapak ibumu tak menyayangimu?” aku menyelidik

“Kalau mereka menyayangiku, mereka tak akan membuatku takut di rumah setiap hari, mereka tak akan mengancamku, kalau mereka menyayangiku, mereka akan mencariku malam ini, tapi apa? Mereka itu seperti monster yang menakutkan Mas!”

Apalagi ini, gadis itu telah membuatku tergeragap kesekian kali. Ternyata begini perasaan anak-anak itu? Anak-anak yang orang tuanya selalu bertengkar dan selalu mengancam. Benarlah teori pendidikan, bahwa anak hanya butuh ketulusan, kelembutan dan kesempatan untuk berpendapat, untuk bisa tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia. Dan gadis itu tak pernah mendapatkannya.

“Benar tak mau pulang?”

“Iya aku mau disini saja, kalau Mas mau pulang. Pulang saja!”

“Aku akan pulang kalau kamu mau pulang!” kataku tegas

“Kalau aku mati, apakah Mas juga ikutan mati? katanya setengah berbisik

“Maksud kamu?” Gadis itu memberikan kertas lusuh kepadaku, kubaca isinya. Kalau tak salah ingat isinya begini :

Bapak, Ibu, jangan bertengkar lagi ya. Aku sayang sama Bapak sama Ibu, aku ingin kalian hidup rukun seperti Bapak dan Ibu Mila teman sebangkuku. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar kalian bahagia dan masuk surga. Tapi Pak, Bu, orang-orang surga tak pernah bertengkar kan? Kata Bu Guru begitu. Aku sudah menuruti setiap perintah kalian, jadi kuharap Tuhan memasukkanku menjadi anak-anak surga.

Benar-benar surat yang tulus dari seorang anak untuk bapak ibunya. Aku benar-benar kagum kemampuan gadis sepuluh tahunan itu merangkai kata

“Ini kamu yang buat sendiri Dek” tanyaku kepadanya

Tapi gadis itu tak ada, menghilang entah kemana. Aku kebingungan mencari kemana larinya gadis itu, cepat sekali larinya. Mataku tertuju di sudut surat itu, tertulis, Yogyakarta, 10 Mei 1995. Ini sepuluh tahun lalu!

Rizza Nasir
Penulis tinggal di Yogyakarta


-----------
Alhamdulillah ini pertama kali cerpen saya dimuat di Malang Post
Yang ngasih kabar Fahrul Khakim, "Rizza cerpenmu Gadis Di Bawah Pohon Pisang dimuat di Malang Pos hari ini, selamat ya!"
Girang! Semangat kerja langsung meningkat #tsaahhh

Mau ngirim ke Malang post juga?
Kirim ke redaksi@malang-post.com
Beri pengantar di badan email ya
Nggak usah diberi nomer rekening
Malang Post belum ada honornya, but, jangan membuat kamu berkecil hati mengirim ke media. Yang penting kan pesan dari cerpen ini bisa dibaca banyak orang kan? #bijaknya :P
Masa tunggu hanya 4 hari lho saya kirim 5 Agustus dimuat  tanggal 9 Agustus 2015. Cepat kan?

Semanagat menulis!
Salam
Rizza Nasir 




Minggu, 03 Mei 2015

CERPEN JANGKAR EMAS IBU (ITN MALANG NEWS, SABTU 2 MEI 2015)

JANGKAR EMAS  IBU

Kau pikir enak  jadi mahasiswa akhir? Entah semester delapan, sepuluh, duabelas, empat belas, berapapun, kau pikir enak? Kau tahu, dari semua hari-hari dan semesterku di kampus ini, semester akhir inilah yang paling kubenci. Ya. Kau pasti tahu alasannya. Skripsi!

Aku juga bingung, kenapa semua mahasiswa harus membuat skripsi jika ingin lulus jadi sarjana secara terhormat. Ya terhormat! Karena ada cara lain yang bisa kau tempuh untuk keluar dari kampus ini.  Mau kuberi tahu caranya? Tak usah bayar uang  semestermu, lalu pulanglah ke kampung halamanmu. Beres! Tak ada lagi tugas-tugas kuliah yang memuakkan, pun dosen-dosen yang seperti dewa. Harus dihormati dan dipatuhi segala perintahnya. Jika tidak sesuai  dengan hatinya maka ia dengan seenaknya tak mau mengajar. Huh!

Sudahlah, aku tidak mau mengingat dosen-dosen semester-semester lalu yang memuakkan, karena tentu saja masih banyak dosen yang menyenangkan, humoris dan memperlakukan mahasiswanya layaknya teman. Aku suka dosen jenis ini. Kau juga kan? Yah, setidaknya dengan humornya aku tak pernah ngantuk lagi saat jam-jam kuliah.

Sabtu, 02 Mei 2015

CERPEN ISTRI CERPENIS (REPUBLIKA, 3 Mei 2015)

ISTRI CERPENIS

Dulu aku jatuh cinta karena cerpen-cerpennya. Ada pelet dalam kata-katanya. Memang iya, aku jatuh cinta padanya bukan melihat wajah, pekerjaannya atau kendaraannya. Dia tak lebih tampan dari pria kebanyakan. Bukan pegawai negeri seperti menantu idaman ibu-ibu. Aku masih ingat, Saat ditanya oleh ayahku apa pekerjaannya untuk menghidupiku Dia dengan lantang menjawab, “Saya cerpenis Pak”.
***
Seperti pagi sebelum-sebelumnya, aku mengantar pisang goreng buatanku ke warung Mbak Karsi, aku menitipkan pisang goreng yang kubuat selepas Shubuh. Resep warisan ibu, seperempat tepung beras dan sedikit terigu, cukup membuat pisang goreng hangatku digemari pembeli.
“Kasihan ya Mira, harus kerja buat pisang goreng begitu, eh suaminya malah nggak kerja” aku berusaha menulikan telingaku, “Salah sendiri dulu milih Hadi, coba kalau Mira kawin sama Ikbal anaknya Pak Naryo, pasti sekarang dia nggak harus hidup susah begitu”
Padahal Shubuh tadi aku sudah berdoa, semoga ibu-ibu tak membicarakan tentang suamiku lagi, aku sudah tak tahan dengan semua bisik-bisik itu, tapi rupanya doaku belum terkabul sekarang. Aku memilih pergi dari warung itu, aku tak mau makan hati pagi-pagi. Tak tahu asal muasalnya darimana, cerita tentang suamiku seempuk pisang goreng hangat di mulut mereka. Nikmat. Lumat.

Sabtu, 11 April 2015

BUKU DIARY GURU DAN PESERTA DIDIK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMBANGUN KETERBUKAAN ANTARA GURU, PESERTA DIDIK DAN ORANG TUA, MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS DAN KEPEKAAN SOSIAL


Rizza Mar’atus Sholikhah
Mahasiswa S2 PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tak semua peserta didik dapat terbuka pada orang lain. Banyak peserta didik yang kesulitan dan takut mengungkapkan ide dan perasaanny kepada guru dan orang tuanya. Ia cenderung takut salah atau tak mempunyai kepercayaan diri. Selain itu anak-anak di sekolah dasar  banyak mengalami kesulitan dalam mengarang. Buku diary guru dan peserta didik hadir sebagai gagasan dan bentuk upaya untuk membangun keterbukaan antara guru, siswa dan orang tua, meningkatkan kemampuan menulis dan kepekaan sosial. Dengan diary ini, anak terlatih menulis, merangkai kalimat dan mengungkapkannya dengan jujur dan percaya diri. Diharapkan anak tak lagi merasa takut untuk mengungkap gagasan, perasaan dan cerita-ceritanya kepada guru dan orang tua.

Kata kunci: Diary, Menulis, Terbuka

A. Pendahuluan
            Anak-anak yang duduk di usia sekolah dasar, baik di kelas rendah (1-3) atau kelas tinggi (4-6) sudah menegenal tentang menulis meskipun banyak kalangan yang masih pro dan kontra tentang mengajarkan membaca dan menulis pada anak usia dini. Sebagian menyatakan bahwa membaca dan menulis pada usia anak sebelum sekolah dasar berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di sekolah dasar. Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal dikemudian hari.   Sebagian lain berpendapat, tidak masalah mengajarkan membaca dan menulis sejak anak usia dini.   Biasanya yang memiliki pendapat untuk membolehkan anak diajarkan baca dan tulis dilatarbelakangi agar anaknya tidak mengalami kesulitan ketika masuk sekolah dasar.   Tuntutan masuk ke sekolah dasar pada saat ini mensyaratkan bahwa anak sudah mampu untuk membaca dan menulis.
            Kenyataannya, anak yang masuk di sekolah dasar hampir seluruhnya bisa membaca, kalaupun ada yang belum bisa, bukan berarti tidak bisa, hanya tinggal melancarkan saja. Paling tidak huruf abjad mereka sudah mengenalnya dengan baik. Yang masih menjadi kendala anak-anak yang belum lancar membaca, biasanya kebingungan membedakan antara huruf b dan d atau u dan n. Selebihnya anak-anak bisa membaca meski dengan mengeja. Tantangan guru sekolah dasar adalah bagaimana membuat anak yang belum lancar membaca menjadi lancar, karena bisa tidak bisa, mau tidak mau membaca adalah aktivitas utama agar kita dapat belajar dengan baik.
            Setelah dapat membaca, anak akan lebih mudah dalam mengikuti langkah belajar selanjutnya yakni menulis. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik melakukan aktivitas menulis dalam banyak aspek, seperti menjawab pertanyaan dan mengarang. Jika menjawab pertanyaan, anak-anak akan lebih mudah , karena jawabannya sudah pasti pernah diungkapkan oleh guru sebelumnya, peserta didik hanya membutuhkan jeda waktu untuk mengingat kembali penjelasan guru atau bacaan lalu menyalinnya dalam baris jawaban, tapi tidak dengan mengarang atau membuat karangan.

Senin, 16 Februari 2015

Lapak Diskusi Pasar Minggu

Oleh : Rizza Nasir 
Anggota FLP Malang
wardatussholihah@gmail.com
FORUM Lingkar Pena (FLP) cabang Malang memanfaatkan momen pasar Minggu di sekitar jalan Semeru hingga Ijen Kota Malang setiap minggu pagi dengan diskusi. Sejak Desember 2013 anggota FLP menggelar lapak tentang kepenulisan, bedah cerpen hingga rencana pembuatan novel anggota.
Diskusi kepenulisan ini tak hanya untuk anggota, tapi terbuka untuk pengunjung pasar Minggu. Beberapa anak muda atau mereka yang lewat di depan lapak sempat mampir. Mereka yang mampir tentu bisa menuai ilmu dari pakarnya, karena beberapakali diskusi dipandu Mashdar Zainal, cerpenis andal Kota Malang. Terbukti bukan bila diskusi tidak selalu dalam suasana tenang dan serius? Teman-teman FLP Malang membuktikan diskusi kepenulisan di tengah hiruk pikuk pasar Minggu.
Selain itu FLP Malang memanfaatkan momen pasar Minggu untuk memperkenalkan antologi Ada Kisah di Setiap Jejak dan Perempuan Merah Lelaki Haru, Bianglala Lakon dan Buletin Sais. Ketiga antologi itu lahir dari penulis FLP Malang. Berisi kisah kehidupan dan cerpen yang telah dimuat di media massa. Kehadiran lapak diskusi kepenulisan FLP Malang memberi warna beda di pasar Minggu. Anda pun bisa mampir saat berada di sana.

Dimuat pada 14 Januari 2014

Link dapat dilihat Disini