Sabtu, 14 Mei 2016

CERPEN FREELANCE (Malang Post, 15 Mei 2016)

FREELANCE
Rizza Nasir
(masih asli dari file saya, belum lihat cetaknya) 
“Kenapa kamu tak daftar tes pegawai negeri kemarin Mas?” tanyanya, entah sudah yang keberapa, aku sengaja nyelonong meninggalkannya. Percuma aku menjawab pertanyaannya, dia pasti bertanya lagi, lagi dan lagi.
“Dimaass! Kamu dengar aku nggak sih?” mulai ngambek, seperti biasa dan memang aku sudah terbiasa. Ya, meskipun aku harus punya stok sabar yang berlebih untuk menghadapinya.
Kata orang perempuan memang begitu, butuh diberi perhatian, butuh segudang kesabaran. Tentu saja, sesabar-sabarnya perempuan, emosinya pasti tidak stabil, berapapun usianya. Terlebih saat PMS. Jadi lelaki harus sabar menghadapi perempuan, segarang-garangnya lelaki harus sabar pada perempuannya. Bukankah begitu? Setuju?
Baiklah, kali ini kujelaskan mengapa Septi begitu uring-uringan akhir-akhir ini. Bukan! Bukan karena mendekati tanggal menstruasi, tetapi karena aku sengaja tidak menyetor berkas persyaratan tes pegawai negeri. Itu saja.

Kamis, 17 Maret 2016

Cerpen Jarit Kembang Kanthil (Radar Malang 6 Maret 2016)

Malang sudah nyaris menjadi kota metropolis. Aku tak pernah tahu mengapa hanya jalan raya sepanjang ITN, lalu belok kiri ke Jalan Gajayana yang menjadi akses satu-satunya menuju rumahku. Jika ada alternatif lain tentu aku tak akan semenderita ini. Suara klakson sudah banyak memekik, tapi aku diamkan saja klakson mobilku. Aku tahu ini tidak akan sedikit pun mengurai kemacetan. Sudah setengah jam aku terjebak, hanya maju beberapa putaran roda lalu berhenti lagi. Macet kali ini sungguh menyebalkan. Meski tak lebih macet dari musim liburan tahun baru yang lalu. Jalan Gajayana memang pusat kemacetan jika sore begini. Jam pulang kerja dan pulang kuliah. Wuih, luar biasa macet.

Mataku tertuju pada seorang perempuan lima puluh tahunan yang sedang melayani pelanggan di tepi jalan. Rambutnya digelung dan masih mengenakan jarit yang dililit dengan stagen. Oh, aku jadi teringat ibuku di Solo. Cara ibu berdandan sehari-hari, persis penjual jamu itu. Jarang sekali ada penjual jamu gendong seperti sore ini. Tanganku melambai memanggilnya. ”Jamu Bu, brotowali campur kunir ada?”
”Ada Pak,” kata penjual jamu itu, lalu menuangkan jamu pesananku di gelas. Lalu dia tergopoh-gopoh mengantarkannya ke mobilku. Aku meneguknya. Hmm. Pahit asam. Persis seperti ramuan brotowali buatan ibu.

Kuamati serius kain jarit yang dipakai penjual jamu itu, sepertinya tidak asing.Ya, tak salah lagi, itu jarit kembang kanthil! Ya, benar! Jarit kembang kanthil!