GADIS
DI BAWAH POHON PISANG
Rizza Nasir
Rizza Nasir
Gadis itu, entah siapa
namanya, tapi aku masih sangat ingat wajahnya, raut ketakutannya, dan gigil
tubuhnya. Aku masih ingat semuanya. Gadis itu, dimana dia sekarang ya? Dulu aku melihat lesung pipit menyembul
dari pipinya yang lesap oleh air mata. Lesung pipit itu cukup membuatku terhibur,
meski sejujurnya malam itu aku ingin
kabur.
***
Waktu itu 2005. Aku
baru saja menyelesaikan tugas kuliahku, baru saja aku mengerjakannya bersama
Ardi, teman paling kental di kelasku. Waktu itu sudah pukul sepuluh malam.
Sebenarnya belum terlalu malam bagi lelaki muda seperti kami, masih sore malah,
tapi karena kami ingat besok mata kuliah jam pertama setengah tujuh pagi itu
diampu oleh dosen yang amat galak, telat semenit saja kami tak dianggap masuk kuliah. Kami tentu keki untuk menyengaja
mengolor waktu berangkat kuliah seperti sebelumnya, kami lebih memilih bangun
pagi dan tidak tidur lagi demi dosen yang menakutkan itu. Kalau aku mau
sebenarnya aku bisa bolos kuliah, tapi itu akan membuatku tidak lulus dan harus
mengulang tahun depan. Ah pasti semakin menumpuk saja beban emak di rumah. Jadi
ini bukan karena aku takut dosen galak itu ya, tapi aku takut emak kecewa.
Niatku malam itu,
Pulang lalu tidur, agar pagi harinya aku bisa bangun pagi dan tidak ngantuk
lagi, tapi Tuhan malah mempertemukan aku dengan gadis itu, entah siapa namanya,
duduk memeluk lutut di bawah pohon pisang.
Malam memang sedang ricis, sejak Maghrib tadi belum juga berhenti. Jadi
aku paham mengapa gadis itu menggigil begitu hebat. Pohon pisang memang tak
terlalu baik menahan air hujan meski dulu sebelum payung terkenal di Indonesia,
daun pisang adalah andalan pelindung hujan, tapi ternyata selayar daun pisang
dan satu pohon pisang berbeda kemampuan memberi
perlindungan dari hujan.
Aku melihatnya dari
kejauhan, semakin lama semakin dekat, malam itu aku hanya jalan kaki. Tak ada
sepeda motor ataupun sepeda. Emak dan adik-adik lebih butuh banyak uang.
Syukurlah Tuhan memberiku dua kaki yang kuat diajak berjalan. Aku berjalan mendekat
padanya. Kudengar sedannya di antara ricis hujan. Gadis itu menangis! Pilu
sekali kedengarannya!
Aku tak tega berlalu
begitu saja. Kuberanikan diri bertanya
padanya, “Dek, rumahnya mana? Kok malam-malam disini sendirian? Mari saya antar
pulang! Aku menawarkan bantuan.
Gadis itu tergeragap,
dua langkah menjauhi deretan pohon pisang lalu bergeming disitu, sedetik, dua
detik, tiga detik. Aku masih menunggu, dia menerima tawaran dariku.
“Saya disini saja, saya
nggak mau pulang”
“Kenapa? Ini sudah malam, hujan pula, bapak ibumu pasti
mencari kamu. Jangan takut, mari Mas antar” aku menyebut diriku untuknya mas,
karena sepertinya seusia dengan adikku di kampung.
“Enggak saya nggak mau
pulang huhuhu”
“Kenapa? Nanti kalau
ada hantu gimana? Kalau ada penculik anak-anak gimana? Ayo pulang saja”
Aku
menakut-nakutinya. Adikku di rumah biasa kugoda begitu, tentu saja aku girang
kalau adikku ketakutan. Tapi rupanya
gadis itu berbeda, dia tak takut sama sekali. Dia malah mendekat kembali ke
pohon pisang dan berjongkok menekuk lutut seperti tadi. Ingin rasanya aku
pulang saja, tapi bagaimana dengan gadis ini.
Usianya mungkin sepuluh
tahunan, rambutnya ikal panjang, memakai daster pendek motif bunga. Tak terlalu
gemuk, tapi juga tidak kerempeng. Aku bingung
harus bagaimana dengan gadis itu. Dia hanya terdiam dan terisak
sementara aku mematung di depannya. Aku
mencari-cari tempat yang lebih nyaman
daripada di bawah pohon pisang, tapi tak ada. Tak mungkin berteduh di beranda
orang malam-malam begini. Tak ada pos kamling pula di daerah ini. Aku mendekat padanya. Ikut jongkok di sebelahnya. Di bawah pohon
pisang.
Melihatku mengikuti
lakunya duduk di bawah pohon pisang, gadis itu terdiam dari isaknya. Dia menatapku
lalu menjauh beberapa langkah “Aku tak akan jahat padamu Dek, sini nggak
apa-apa. Mas takut kamu diculik penjahat, jadi kalau kamu nggak mau pulang, ya
sudah Mas temani kamu duduk disini” kataku meyakinkannya, bahwa aku benar
mas-mas yang baik-baik.
Akhirnya gadis itu
kembali ke tempat semula, masih jongkok di sampingku. Kami diam lama. Hanya
suara ricis hujan, kodok dan kesuweng yang
terdengar. Di atas sana gelap, hanya ada satu dua bintang yang mencoba
menerobos hujan. Hmm... benar-benar simfoni malam yang mencekam.
“Mas, rumahnya dimana?”
tanya gadis itu tiba-tiba
“Oh, saya nge kost di
gang lima”
“Kok lewat sini?”
“Iya, tadi habis dari
rumah teman, hehe” Aku hanya berhaha hehe menjawab pertanyaannya, sejujurnya
aku bingung harus bagaimana dengan gadis ini, masih sepuluh tahunan, sendirian,
malam-malam dan tak mau diantar pulang dan jiwa lelakiku mengatakan, aku tak
boleh membiarkan dia sendirian.
“Mas, punya bapak
tidak?”
“Punya”
“Punya, di kampung ,
tinggal sama bapak”
“Enak ya, punya bapak
sama ibu”
“Memangnya orang tua
kamu sudah meninggal?”
“Belum, ada di rumah”
“Lalu?”
aku ingin tahu
“Bapak sama ibu
berantem terus, setiap hari berteriak-teriak, setiap hari ada saja piring pecah
di rumah, setiap hari aku tidak betah di rumah” Aku terus mendengarkannya,
meski aku tak tahu harus bagaimana, tapi kadang orang tak butuh solusi, ia
hanya butuh didengarkan bukan?
“Aku nggak mau pulang
lagi ke rumah! Aku mau minggat!” katanya lantang
“Apa, minggat?” aku
terperanjat, “ jadi kamu sejak tadi di bawah pohon pisang ini ceritanya minggat
dari rumah begitu?” tanyaku penuh selidik
“Iya! Biar saja!
Buktinya mereka nggak mencariku kan?”
“Bagaimana kamu tahu
mereka tak mencarimu? Mungkin saja sekarang mereka sedang kebingungan mencarimu.
Makanya ayo aku antar pulang!”
“Sudah kubilang aku mau
minggat Mas, jangan ajak aku pulang lagi!” Gadis itu berteriak kasar padaku,
kalau itu adikku sendiri, pasti sudah kutabok mulutnya, kasar sekali pada orang
lebih tua, tapi masalahnya gadis itu orang lain, aku hanya bisa melotot
melihatnya.
“Kenapa? Mas marah ya
aku bilang kenceng tadi? Nggak sopan ya?”
“Iya seharusnya kamu
tidak begitu sama orang yang lebih tua!
”
“Cih! Selalu begitu,
selalu anak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua, tetapi yang lebih
tua mana pernah menghormati yang lebih muda? Biasanya selalu memperlakukan kami
seenaknya”
“Maksud kamu? Enggak
ya! Saya menghormati yang lebih muda juga, adik-adik saya, kamu juga, saya
menghormati kok”
“Tapi ayah dan ibuku
tidak! Mereka selalu menganggapku anak kecil, mereka selalu memperlakukan aku
seenaknya”
“Jangan begitu Dek,
mungkin kamu yang belum paham apa maksud dari orang tuamu itu” aku berusaha
meluruskan
“Belum paham apanya,
aku disuruh ini dan itu, menyapu, ngepel, bantuin masak, setrika. Aku ini anak
atau pembantu sih. Ibuku seperti
memanfaatkanku, mentang-mentang aku anaknya beliau selalu menyuruhku seenaknya.
Ibuku tak pernah peduli aku sedang capek atau ingin nonton tivi. Kalau aku
menolak permintaannya, ibu selalu bilang kalau anak itu harus nurut sama orang
tua, nggak boleh mbantah, kalau mbantah nanti masuk neraka” aku hanya
terpekur mendengar ucapannya.
“Memangnya surga dan
neraka itu cuma milik orang yang lebih tua apa? Hingga mereka seenaknya mencomot dua kata keramat itu untuk
mengancam yang lebih muda” Gadis itu masih meneruskan kalimatnya.
“Surga dan neraka itu
milik Tuhan Dek, kita sebagai manusia hanya harus berbuat baik, biar Tuhan yang
menilai kita pantas masuk yang mana” kataku mencoba berargumen.
“Lha iya” gadis itu
bersungut-sungut
“Bapak sama ibuku di
rumah yang suka berantem itu, mereka masuk surga atau neraka?” tanyanya
padaku. Aku hanya mengangkat bahu dan
mengarahkan telunjuk ke langit.
“Mereka selalu
membuatku menangis setiap hari, mereka selalu berteriak-teriak, menggertak, menggebrak meja dan melempar apa
saja, di rumahku serasa neraka Mas! Oh iya, kata Bu Guru surga itu ada di
telapak kaki ibu, apakah ada surga di bawah telapak kaki ibuku yang suka
menyuruhku seenaknya dan mengancamku?” Oh Tuhan, harus kujawab apalagi
pertanyaan gadis ini. Kuakui dia lebih dewasa dari usianya yang sepuluh
tahunan.
“Kamu sayang sama bapak
dan ibumu? Tanyaku padanya
“Tentu saja! Aku harus
sayang sama orang tua jika ingin jadi anak-anak surga! Bu Guru bilang begitu,
tapi... tapi bapak ibuku tak menyayangiku Mas, makanya aku mau minggat saja!”
“Kok kamu tahu bapak
ibumu tak menyayangimu?” aku menyelidik
“Kalau mereka menyayangiku,
mereka tak akan membuatku takut di rumah setiap hari, mereka tak akan
mengancamku, kalau mereka menyayangiku, mereka akan mencariku malam ini, tapi
apa? Mereka itu seperti monster yang menakutkan Mas!”
Apalagi ini, gadis itu
telah membuatku tergeragap kesekian kali. Ternyata begini perasaan anak-anak
itu? Anak-anak yang orang tuanya selalu bertengkar dan selalu mengancam. Benarlah
teori pendidikan, bahwa anak hanya butuh ketulusan, kelembutan dan kesempatan
untuk berpendapat, untuk bisa tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia. Dan gadis
itu tak pernah mendapatkannya.
“Benar tak mau pulang?”
“Iya aku mau disini
saja, kalau Mas mau pulang. Pulang saja!”
“Aku akan pulang kalau
kamu mau pulang!” kataku tegas
“Kalau aku mati, apakah
Mas juga ikutan mati? katanya setengah berbisik
“Maksud kamu?” Gadis
itu memberikan kertas lusuh kepadaku, kubaca isinya. Kalau tak salah ingat
isinya begini :
Bapak,
Ibu, jangan bertengkar lagi ya. Aku sayang sama Bapak sama Ibu, aku ingin
kalian hidup rukun seperti Bapak dan Ibu Mila teman sebangkuku. Aku selalu
berdoa kepada Tuhan, agar kalian bahagia dan masuk surga. Tapi Pak, Bu,
orang-orang surga tak pernah bertengkar kan? Kata Bu Guru begitu. Aku sudah
menuruti setiap perintah kalian, jadi kuharap Tuhan memasukkanku menjadi
anak-anak surga.
Benar-benar surat yang
tulus dari seorang anak untuk bapak ibunya. Aku benar-benar kagum kemampuan
gadis sepuluh tahunan itu merangkai kata
“Ini kamu yang buat sendiri
Dek” tanyaku kepadanya
Tapi gadis itu tak ada,
menghilang entah kemana. Aku kebingungan mencari kemana larinya gadis itu,
cepat sekali larinya. Mataku tertuju di sudut surat itu, tertulis, Yogyakarta, 10 Mei 1995. Ini sepuluh
tahun lalu!
Rizza Nasir
Penulis
tinggal di Yogyakarta
-----------
Alhamdulillah ini pertama kali cerpen saya dimuat di Malang Post
Yang ngasih kabar Fahrul Khakim, "Rizza cerpenmu Gadis Di Bawah Pohon Pisang dimuat di Malang Pos hari ini, selamat ya!"
Girang! Semangat kerja langsung meningkat #tsaahhh
Mau ngirim ke Malang post juga?
Kirim ke redaksi@malang-post.com
Beri pengantar di badan email ya
Nggak usah diberi nomer rekening
Malang Post belum ada honornya, but, jangan membuat kamu berkecil hati mengirim ke media. Yang penting kan pesan dari cerpen ini bisa dibaca banyak orang kan? #bijaknya :P
Masa tunggu hanya 4 hari lho saya kirim 5 Agustus dimuat tanggal 9 Agustus 2015. Cepat kan?
Semanagat menulis!
Salam
Rizza Nasir
Alhamdulillah ini pertama kali cerpen saya dimuat di Malang Post
Yang ngasih kabar Fahrul Khakim, "Rizza cerpenmu Gadis Di Bawah Pohon Pisang dimuat di Malang Pos hari ini, selamat ya!"
Girang! Semangat kerja langsung meningkat #tsaahhh
Mau ngirim ke Malang post juga?
Kirim ke redaksi@malang-post.com
Beri pengantar di badan email ya
Nggak usah diberi nomer rekening
Malang Post belum ada honornya, but, jangan membuat kamu berkecil hati mengirim ke media. Yang penting kan pesan dari cerpen ini bisa dibaca banyak orang kan? #bijaknya :P
Masa tunggu hanya 4 hari lho saya kirim 5 Agustus dimuat tanggal 9 Agustus 2015. Cepat kan?
Semanagat menulis!
Salam
Rizza Nasir