Minggu, 08 September 2013

Celana Oh Celana

Mendadak Lucu PNBB dan Pustaka Aura




Aku lahir di desa yang mayoritas beragama Islam. Anak-anak di desaku terbiasa dengan ritual wajib yang harus dilaksanakan setiap hari yakni mengaji  di surau. Hampir setiap surau, selalu ada majelis mengaji setiap sore, tepatnya setelah sholat Ashar  sampai sebelum bedug Maghrib. Kami hanya dapat libur pada hari Kamis.


           



 Seperti orang tua yang lain, orang tuaku menyuruhku dan adik ngaji di masjid setiap sore. Ibuku selalu berteriak memanggil-manggil kami, bila waktu ngaji tiba sedang aku masih bermai dengan teman-temanku. Tak jarang ibuku menyuruh teman-temanku pulang secara paksa. 

“Ayo muleh kabeh,ngaji-ngaji, dolanane diterusne sesuk maneh yo” (Ayo pulang semua, sudah saatnya ngaji, bermainnya dilanjutkan besok saja).
“Mesti lek krungu adzan lagek adus”(Dengar  adzan, baru mandi). Ayahku marah. Kalau sudah begini, aku takut. Aku tahu itu salah, tapi entahlah Rizza kecil selalu mengulang kesalahan yang sama hampir setiap hari. Dasar badung....


            Suatu hari di bulan Maulid, guru ngajiku, kami biasa memanggilnya  Kang Din, memberikan pengumuman bahwa akan ada lomba baca Al-Qur’an yang diadakan oleh dewan assatidz sekolah madrasah (baca Dinniyah), entahlah, seluruh  warga menyebutnya begitu  –Sekolah Madrasah-, di masa depan aku tahu, madrasah adalah bahasa arab dari sekolah. Selain mengaji Al-Qur’an setelah Ashar, kami diwajibkan pula mengikuti sekolah madrasah, sebuah sekolah yang dibangun swadaya oleh masyrakat, gurunya pun tidak di bayar. Bukan dengan sebutan Ustad, tapi kami memanggilnya dengan Kang  (mas), Kang Din, Kang Makrus, begitulah kami memanggil guru. Sekolah itu dibuka setelah maghrib dan akan selesai pukul setengah delapan malam. 

             Masih lekat diingatanku, aku mendapatkan tugas untuk menghafal surat At-Takatsur. Ada lima orang yang ikut lomba itu, hanya akulah satu-satunya perempuan. Karena hanya akulah murid perempuan yang ngaji di masjid itu, Mungkin saking banyaknya majlis Al-Qur’an sehingga kami bebas memilih dimana kami mengaj.

            Selama seminggu aku berusaha menghafal surat At-Takastur dengan lafal dan tartil yang benar. Hingga hari itu tiba,  hari yang tak kulupa hingga kini. Malam itu kami berlima di dampingi Kang Din menuju ke balai desa. Seluruh jalanan gelap gulita PLN memadamkan lampu sejak pagi hari. Dalam hati aku ingin lomba itu ditunda dihari lain. Selain karena cahaya, aku juga butuh mengumpulkan keberanian. Harapanku pupus.Lomba malam itu tetap dilaksanakan dengan diterangi lampu dengan bantuan diesel.

            Aku merasakan panas dingin di sekujur tubuhku, perlombaan malam itu adalah perlombaan pertama yang kuikuti seumur hidupku. Satu per satu peserta dipanggil. Mengaji mereka bagus sekali, sangat berbeda denganku. Takutku semakin menderu. Tiba-tiba seorang ibu membuyarkan ketakutanku, bukan dengan keberanian tapi dengan rasa malu....

“Mbak Rizza, clonomu kuwalik yo?”
Kontan aku kaget dengan ucapan itu dan benar saja celana busana muslim yang kupakai terbalik, hingga tampak  jalinan pengait jahitannya. Semua peserta perempuan menertawakanku, aku pun segera lari menuju kamar mandi untuk berbenah atas kecerobohanku.  Rupanya tanpa kusadari aku mengambil celana panjang yang belum disetrika, celana itu pun belum dibalik dari bagian dalamnya. Aku benar-benar malu malam itu Rupanya padamnya lampu telah membuatku lalai teliti dalam memakai baju. 

Gara-gara insiden itu, konsentrasiku buyar, hafalanku berantakan. Aku gagal, tapi aku sadar pengalaman celana terbalik malam itu adalah guru yang tak tergantikan.
           






Tidak ada komentar:

Posting Komentar