![]() |
Mendadak Lucu PNBB dan Pustaka Aura |
Aku lahir di
desa yang mayoritas beragama Islam. Anak-anak di desaku terbiasa dengan ritual
wajib yang harus dilaksanakan setiap hari yakni mengaji di surau. Hampir setiap surau, selalu ada majelis
mengaji setiap sore, tepatnya setelah sholat Ashar sampai sebelum bedug Maghrib. Kami hanya
dapat libur pada hari Kamis.
Seperti orang tua yang lain, orang tuaku menyuruhku dan adik ngaji di masjid setiap sore. Ibuku selalu berteriak memanggil-manggil kami, bila waktu ngaji tiba sedang aku masih bermai dengan teman-temanku. Tak jarang ibuku menyuruh teman-temanku pulang secara paksa.
“Ayo muleh kabeh,ngaji-ngaji,
dolanane diterusne sesuk maneh yo” (Ayo pulang semua, sudah saatnya ngaji,
bermainnya dilanjutkan besok saja).
“Mesti lek krungu adzan lagek
adus”(Dengar adzan, baru mandi). Ayahku
marah. Kalau sudah begini, aku takut. Aku tahu itu salah, tapi entahlah Rizza
kecil selalu mengulang kesalahan yang sama hampir setiap hari. Dasar badung....
Suatu
hari di bulan Maulid, guru ngajiku, kami biasa memanggilnya Kang Din, memberikan pengumuman bahwa akan
ada lomba baca Al-Qur’an yang diadakan oleh dewan assatidz sekolah madrasah
(baca Dinniyah), entahlah, seluruh warga
menyebutnya begitu –Sekolah Madrasah-, di
masa depan aku tahu, madrasah adalah bahasa arab dari sekolah. Selain mengaji
Al-Qur’an setelah Ashar, kami diwajibkan pula mengikuti sekolah madrasah,
sebuah sekolah yang dibangun swadaya oleh masyrakat, gurunya pun tidak di bayar.
Bukan dengan sebutan Ustad, tapi kami memanggilnya dengan Kang (mas), Kang Din, Kang Makrus, begitulah
kami memanggil guru. Sekolah itu dibuka setelah maghrib dan akan selesai pukul
setengah delapan malam.
Masih lekat diingatanku, aku mendapatkan tugas
untuk menghafal surat At-Takatsur. Ada lima orang yang ikut lomba itu, hanya
akulah satu-satunya perempuan. Karena hanya akulah murid perempuan yang ngaji
di masjid itu, Mungkin saking banyaknya majlis Al-Qur’an sehingga kami bebas
memilih dimana kami mengaj.
Selama
seminggu aku berusaha menghafal surat At-Takastur dengan lafal dan tartil yang
benar. Hingga hari itu tiba, hari
yang tak kulupa hingga kini. Malam itu kami berlima di dampingi Kang Din menuju
ke balai desa. Seluruh jalanan gelap gulita PLN memadamkan lampu sejak pagi
hari. Dalam hati aku ingin lomba itu ditunda dihari lain. Selain karena cahaya,
aku juga butuh mengumpulkan keberanian. Harapanku pupus.Lomba malam itu tetap
dilaksanakan dengan diterangi lampu dengan bantuan diesel.
Aku
merasakan panas dingin di sekujur tubuhku, perlombaan malam itu adalah
perlombaan pertama yang kuikuti seumur hidupku. Satu per satu peserta dipanggil.
Mengaji mereka bagus sekali, sangat berbeda denganku. Takutku semakin menderu.
Tiba-tiba seorang ibu membuyarkan ketakutanku, bukan dengan keberanian tapi
dengan rasa malu....
“Mbak Rizza, clonomu kuwalik
yo?”
Kontan aku kaget dengan ucapan
itu dan benar saja celana busana muslim yang kupakai terbalik, hingga tampak jalinan pengait jahitannya. Semua peserta
perempuan menertawakanku, aku pun segera lari menuju kamar mandi untuk berbenah
atas kecerobohanku. Rupanya tanpa
kusadari aku mengambil celana panjang yang belum disetrika, celana itu pun
belum dibalik dari bagian dalamnya. Aku benar-benar malu malam itu Rupanya
padamnya lampu telah membuatku lalai teliti dalam memakai baju.
Gara-gara
insiden itu, konsentrasiku buyar, hafalanku berantakan. Aku gagal, tapi aku
sadar pengalaman celana terbalik malam itu adalah guru yang tak tergantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar