Sabtu, 08 Agustus 2015

CERPEN GADIS DI BAWAH POHON PISANG (MALANG POST 9 AGUSTUS 2015)

GADIS DI BAWAH POHON PISANG
Rizza Nasir

Gadis itu, entah siapa namanya, tapi aku masih sangat ingat wajahnya, raut ketakutannya, dan gigil tubuhnya. Aku masih ingat semuanya. Gadis itu, dimana dia sekarang  ya? Dulu aku melihat lesung pipit menyembul dari pipinya yang lesap oleh air mata. Lesung pipit itu cukup membuatku terhibur, meski  sejujurnya malam itu aku ingin kabur.

***
Waktu itu 2005. Aku baru saja menyelesaikan tugas kuliahku, baru saja aku mengerjakannya bersama Ardi, teman paling kental di kelasku. Waktu itu sudah pukul sepuluh malam. Sebenarnya belum terlalu malam bagi lelaki muda seperti kami, masih sore malah, tapi karena kami ingat besok mata kuliah jam pertama setengah tujuh pagi itu diampu oleh dosen yang amat galak, telat semenit saja kami tak dianggap masuk  kuliah. Kami tentu keki untuk menyengaja mengolor waktu berangkat kuliah seperti sebelumnya, kami lebih memilih bangun pagi dan tidak tidur lagi demi dosen yang menakutkan itu. Kalau aku mau sebenarnya aku bisa bolos kuliah, tapi itu akan membuatku tidak lulus dan harus mengulang tahun depan. Ah pasti semakin menumpuk saja beban emak di rumah. Jadi ini bukan karena aku takut dosen galak itu ya, tapi aku takut emak kecewa.

Niatku malam itu, Pulang lalu tidur, agar pagi harinya aku bisa bangun pagi dan tidak ngantuk lagi, tapi Tuhan malah mempertemukan aku dengan gadis itu, entah siapa namanya, duduk memeluk lutut di bawah pohon pisang.  Malam memang sedang ricis, sejak Maghrib tadi belum juga berhenti. Jadi aku paham mengapa gadis itu menggigil begitu hebat. Pohon pisang memang tak terlalu baik menahan air hujan meski dulu sebelum payung terkenal di Indonesia, daun pisang adalah andalan pelindung hujan, tapi ternyata selayar daun pisang dan satu pohon pisang berbeda  kemampuan memberi perlindungan dari hujan.

Aku melihatnya dari kejauhan, semakin lama semakin dekat, malam itu aku hanya jalan kaki. Tak ada sepeda motor ataupun sepeda. Emak dan adik-adik lebih butuh banyak uang. Syukurlah Tuhan memberiku dua kaki yang kuat diajak berjalan. Aku berjalan mendekat padanya. Kudengar sedannya di antara ricis hujan. Gadis itu menangis! Pilu sekali kedengarannya!
Aku tak tega berlalu begitu saja. Kuberanikan diri  bertanya padanya, “Dek, rumahnya mana? Kok malam-malam disini sendirian? Mari saya antar pulang! Aku menawarkan bantuan.
Gadis itu tergeragap, dua langkah menjauhi deretan pohon pisang lalu bergeming disitu, sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih menunggu, dia menerima tawaran dariku.

“Saya disini saja, saya nggak mau pulang”

“Kenapa? Ini  sudah malam, hujan pula, bapak ibumu pasti mencari kamu. Jangan takut, mari Mas antar” aku menyebut diriku untuknya mas, karena sepertinya seusia dengan adikku di kampung.

“Enggak saya nggak mau pulang huhuhu”

“Kenapa? Nanti kalau ada hantu gimana? Kalau ada penculik anak-anak gimana? Ayo pulang saja”
 Aku menakut-nakutinya. Adikku di rumah biasa kugoda begitu, tentu saja aku girang kalau adikku ketakutan.  Tapi rupanya gadis itu berbeda, dia tak takut sama sekali. Dia malah mendekat kembali ke pohon pisang dan berjongkok menekuk lutut seperti tadi. Ingin rasanya aku pulang saja, tapi bagaimana dengan gadis ini.

Usianya mungkin sepuluh tahunan, rambutnya ikal panjang, memakai daster pendek motif bunga. Tak terlalu gemuk, tapi juga tidak kerempeng. Aku bingung  harus bagaimana dengan gadis itu. Dia hanya terdiam dan terisak sementara aku mematung di depannya.  Aku mencari-cari tempat yang  lebih nyaman daripada di bawah pohon pisang, tapi tak ada. Tak mungkin berteduh di beranda orang malam-malam begini. Tak ada pos kamling pula di daerah ini. Aku  mendekat padanya.  Ikut jongkok di sebelahnya. Di bawah pohon pisang.

Melihatku mengikuti lakunya duduk di bawah pohon pisang, gadis itu terdiam dari isaknya. Dia menatapku lalu menjauh beberapa langkah “Aku tak akan jahat padamu Dek, sini nggak apa-apa. Mas takut kamu diculik penjahat, jadi kalau kamu nggak mau pulang, ya sudah Mas temani kamu duduk disini” kataku meyakinkannya, bahwa aku benar mas-mas yang baik-baik.
Akhirnya gadis itu kembali ke tempat semula, masih jongkok di sampingku. Kami diam lama. Hanya suara ricis hujan, kodok dan kesuweng yang terdengar. Di atas sana gelap, hanya ada satu dua bintang yang mencoba menerobos hujan. Hmm... benar-benar simfoni malam yang mencekam.

“Mas, rumahnya dimana?” tanya gadis itu tiba-tiba

“Oh, saya nge kost di gang lima”

“Kok lewat sini?”

“Iya, tadi habis dari rumah teman, hehe” Aku hanya berhaha hehe menjawab pertanyaannya, sejujurnya aku bingung harus bagaimana dengan gadis ini, masih sepuluh tahunan, sendirian, malam-malam dan tak mau diantar pulang dan jiwa lelakiku mengatakan, aku tak boleh membiarkan dia sendirian.

“Mas, punya bapak tidak?”

“Punya” 

“Punya ibu?’

“Punya, di kampung , tinggal sama bapak”

“Enak ya, punya bapak sama ibu”

“Memangnya orang tua kamu sudah meninggal?”

“Belum, ada di rumah”

“Lalu?” aku ingin tahu

“Bapak sama ibu berantem terus, setiap hari berteriak-teriak, setiap hari ada saja piring pecah di rumah, setiap hari aku tidak betah di rumah” Aku terus mendengarkannya, meski aku tak tahu harus bagaimana, tapi kadang orang tak butuh solusi, ia hanya butuh didengarkan bukan?

“Aku nggak mau pulang lagi ke rumah! Aku mau minggat!” katanya lantang

“Apa, minggat?” aku terperanjat, “ jadi kamu sejak tadi di bawah pohon pisang ini ceritanya minggat dari rumah begitu?” tanyaku penuh selidik

“Iya! Biar saja! Buktinya mereka nggak mencariku kan?”

“Bagaimana kamu tahu mereka tak mencarimu? Mungkin saja sekarang mereka sedang kebingungan mencarimu. Makanya ayo aku antar pulang!”

“Sudah kubilang aku mau minggat Mas, jangan ajak aku pulang lagi!” Gadis itu berteriak kasar padaku, kalau itu adikku sendiri, pasti sudah kutabok mulutnya, kasar sekali pada orang lebih tua, tapi masalahnya gadis itu orang lain, aku hanya bisa melotot melihatnya.

“Kenapa? Mas marah ya aku bilang kenceng tadi? Nggak sopan ya?”

“Iya seharusnya kamu tidak begitu sama orang yang lebih tua!
“Cih! Selalu begitu, selalu anak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua, tetapi yang lebih tua mana pernah menghormati yang lebih muda? Biasanya selalu memperlakukan kami seenaknya”

“Maksud kamu? Enggak ya! Saya menghormati yang lebih muda juga, adik-adik saya, kamu juga, saya menghormati kok”

“Tapi ayah dan ibuku tidak! Mereka selalu menganggapku anak kecil, mereka selalu memperlakukan aku seenaknya”

“Jangan begitu Dek, mungkin kamu yang belum paham apa maksud dari orang tuamu itu” aku berusaha meluruskan

“Belum paham apanya, aku disuruh ini dan itu, menyapu, ngepel, bantuin masak, setrika. Aku ini anak atau pembantu sih. Ibuku seperti memanfaatkanku, mentang-mentang aku anaknya beliau selalu menyuruhku seenaknya. Ibuku tak pernah peduli aku sedang capek atau ingin nonton tivi. Kalau aku menolak permintaannya, ibu selalu bilang kalau anak itu harus nurut sama orang tua, nggak boleh mbantah, kalau mbantah nanti masuk neraka” aku hanya terpekur mendengar ucapannya.

“Memangnya surga dan neraka itu cuma milik orang yang lebih tua apa? Hingga mereka  seenaknya mencomot dua kata keramat itu untuk mengancam yang lebih muda” Gadis itu masih meneruskan kalimatnya.

“Surga dan neraka itu milik Tuhan Dek, kita sebagai manusia hanya harus berbuat baik, biar Tuhan yang menilai kita pantas masuk yang mana” kataku mencoba berargumen.

“Lha iya” gadis itu bersungut-sungut

“Bapak sama ibuku di rumah yang suka berantem itu, mereka masuk surga atau neraka?” tanyanya padaku.  Aku hanya mengangkat bahu dan mengarahkan telunjuk ke langit.

“Mereka selalu membuatku menangis setiap hari, mereka selalu berteriak-teriak,   menggertak, menggebrak meja dan melempar apa saja, di rumahku serasa neraka Mas! Oh iya, kata Bu Guru surga itu ada di telapak kaki ibu, apakah ada surga di bawah telapak kaki ibuku yang suka menyuruhku seenaknya dan mengancamku?” Oh Tuhan, harus kujawab apalagi pertanyaan gadis ini. Kuakui dia lebih dewasa dari usianya yang sepuluh tahunan.

“Kamu sayang sama bapak dan ibumu? Tanyaku padanya

“Tentu saja! Aku harus sayang sama orang tua jika ingin jadi anak-anak surga! Bu Guru bilang begitu, tapi... tapi bapak ibuku tak menyayangiku Mas, makanya aku mau minggat saja!”

“Kok kamu tahu bapak ibumu tak menyayangimu?” aku menyelidik

“Kalau mereka menyayangiku, mereka tak akan membuatku takut di rumah setiap hari, mereka tak akan mengancamku, kalau mereka menyayangiku, mereka akan mencariku malam ini, tapi apa? Mereka itu seperti monster yang menakutkan Mas!”

Apalagi ini, gadis itu telah membuatku tergeragap kesekian kali. Ternyata begini perasaan anak-anak itu? Anak-anak yang orang tuanya selalu bertengkar dan selalu mengancam. Benarlah teori pendidikan, bahwa anak hanya butuh ketulusan, kelembutan dan kesempatan untuk berpendapat, untuk bisa tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia. Dan gadis itu tak pernah mendapatkannya.

“Benar tak mau pulang?”

“Iya aku mau disini saja, kalau Mas mau pulang. Pulang saja!”

“Aku akan pulang kalau kamu mau pulang!” kataku tegas

“Kalau aku mati, apakah Mas juga ikutan mati? katanya setengah berbisik

“Maksud kamu?” Gadis itu memberikan kertas lusuh kepadaku, kubaca isinya. Kalau tak salah ingat isinya begini :

Bapak, Ibu, jangan bertengkar lagi ya. Aku sayang sama Bapak sama Ibu, aku ingin kalian hidup rukun seperti Bapak dan Ibu Mila teman sebangkuku. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar kalian bahagia dan masuk surga. Tapi Pak, Bu, orang-orang surga tak pernah bertengkar kan? Kata Bu Guru begitu. Aku sudah menuruti setiap perintah kalian, jadi kuharap Tuhan memasukkanku menjadi anak-anak surga.

Benar-benar surat yang tulus dari seorang anak untuk bapak ibunya. Aku benar-benar kagum kemampuan gadis sepuluh tahunan itu merangkai kata

“Ini kamu yang buat sendiri Dek” tanyaku kepadanya

Tapi gadis itu tak ada, menghilang entah kemana. Aku kebingungan mencari kemana larinya gadis itu, cepat sekali larinya. Mataku tertuju di sudut surat itu, tertulis, Yogyakarta, 10 Mei 1995. Ini sepuluh tahun lalu!

Rizza Nasir
Penulis tinggal di Yogyakarta


-----------
Alhamdulillah ini pertama kali cerpen saya dimuat di Malang Post
Yang ngasih kabar Fahrul Khakim, "Rizza cerpenmu Gadis Di Bawah Pohon Pisang dimuat di Malang Pos hari ini, selamat ya!"
Girang! Semangat kerja langsung meningkat #tsaahhh

Mau ngirim ke Malang post juga?
Kirim ke redaksi@malang-post.com
Beri pengantar di badan email ya
Nggak usah diberi nomer rekening
Malang Post belum ada honornya, but, jangan membuat kamu berkecil hati mengirim ke media. Yang penting kan pesan dari cerpen ini bisa dibaca banyak orang kan? #bijaknya :P
Masa tunggu hanya 4 hari lho saya kirim 5 Agustus dimuat  tanggal 9 Agustus 2015. Cepat kan?

Semanagat menulis!
Salam
Rizza Nasir