Senin, 06 Januari 2014

JALANAN BENTANG


Suara Akademika yang Memuat Jalanan Bentang
Ketika sepasang malaikat membawa rohku turun dari langit. sejenak sebelum rohku benar-benar ditiupkan pada segumpal jasad di rahim emakku, mereka membisikan tentang nasib yang akan kujalani. Malaikat mulai memahatkan dua tangan dan dua kakiku. Dihiasinya wajahku dengan mata, hidung dan mulut. Saat itu aku mulai tahu, aku dicipta untuk menjalani nasibku.

Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berdiri tepat di depan pintu perjuangan, mengamati halaman dan ruang kelas yang masih lenggang. Baru jam enam pagi, pastilah belum ada satu pun muridku yang datang. Gurunya saja belum, Ah setidaknya sejak kuterapkan sistem potong gaji dua puluh persen untuk guru yang terlambat, tak ada lagi guru yang datang melebihi pukul tujuh.

Ya, ini adalah sekumpulan kotak-kotak keilmuan, dimana seseorang yang disebut murid belajar dan seseorang yang disebut guru mengajar. Mencari dan memberi ilmu. Memberi untuk mencerdaskan bukan hanya karena menggugurkan kewajiban dan yang penting gajian. Gaji, jangan tanyakan tentang itu, malu aku menjawabnya. Gaji guru disini hanya dua ratus ribu sebulan. Jauh sekali dari kata mapan.