Rizza
Mar’atus Sholikhah
Mahasiswa
S2 PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tak semua peserta didik dapat terbuka pada
orang lain. Banyak peserta didik yang kesulitan dan takut mengungkapkan ide dan
perasaanny kepada guru dan orang tuanya. Ia cenderung takut salah atau tak
mempunyai kepercayaan diri. Selain itu anak-anak di sekolah dasar banyak mengalami kesulitan dalam mengarang.
Buku diary guru dan peserta didik hadir sebagai gagasan dan bentuk upaya untuk
membangun keterbukaan antara guru, siswa dan orang tua, meningkatkan kemampuan
menulis dan kepekaan sosial. Dengan diary ini, anak terlatih menulis, merangkai
kalimat dan mengungkapkannya dengan jujur dan percaya diri. Diharapkan anak tak
lagi merasa takut untuk mengungkap gagasan, perasaan dan cerita-ceritanya kepada
guru dan orang tua.
Kata kunci: Diary, Menulis, Terbuka
A. Pendahuluan
Anak-anak
yang duduk di usia sekolah dasar, baik di kelas rendah (1-3) atau kelas tinggi
(4-6) sudah menegenal tentang menulis meskipun banyak kalangan yang masih pro
dan kontra tentang mengajarkan membaca dan menulis pada anak usia
dini. Sebagian menyatakan bahwa membaca dan menulis pada usia anak sebelum
sekolah dasar berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya
baru diajarkan di sekolah dasar. Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang
seharusnya adalah aktivitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan
terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan
kemampuan anak secara optimal dikemudian hari. Sebagian lain berpendapat,
tidak masalah mengajarkan membaca dan menulis sejak anak usia dini.
Biasanya yang memiliki pendapat untuk membolehkan anak diajarkan baca dan tulis
dilatarbelakangi agar anaknya tidak mengalami kesulitan ketika masuk sekolah
dasar. Tuntutan masuk ke sekolah dasar pada saat ini mensyaratkan
bahwa anak sudah mampu untuk membaca dan menulis.

Setelah
dapat membaca, anak akan lebih mudah dalam mengikuti langkah belajar
selanjutnya yakni menulis. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik
melakukan aktivitas menulis dalam banyak aspek, seperti menjawab pertanyaan dan
mengarang. Jika menjawab pertanyaan, anak-anak akan lebih mudah , karena jawabannya
sudah pasti pernah diungkapkan oleh guru sebelumnya, peserta didik hanya
membutuhkan jeda waktu untuk mengingat kembali penjelasan guru atau bacaan lalu
menyalinnya dalam baris jawaban, tapi tidak dengan mengarang atau membuat
karangan.
Peserta
didik di kelas 3 Sekolah Dasar sudah dikenalkan dengan aktivitas mengarang,
karangan singkat yang sederhana, namun banyak anak yang kesulitan pula
menemukan kalimat apa selanjutnya yang harus ia tulis. Anak-anak di Sekolah
Dasar pada kelas rendah umumnya masih malu mengungkapkan pendapatnya dan takut
pada gurunya. Guru dianggap sebagai seseorang yang tinggi dan harus dihormati,
akibatnya ada jarak antara peserta didik dan guru di sekolah. Dengan orang tua
pun begitu, anak-anak menganggap orang tua sebagai tetua yang harus dihormati
bahkan ditakuti, karena islam mengajarkan Surga
berada di bawah kaki ibu. Ibu dan ayah adalah sepaket yang harus dihormati.
Sehingga anak merasa segan untuk berbincang atau mengungkapkan pendapat dan
permintaan. Memang tidak semua anak mengalami hal ini, ada pula anak yang
begitu terbuka dengan guru dan orang tuanya, namun tak sedikit pula anak yang
tertutup dan tak pernah berinteraksi karena takut akan dimarahi dan sebagaimya.
Diary
guru dan peserta didik bisa menjadi jawaban untuk tiga hal yang dihadapi guru
dan orang tua dalam menghadapi peserta didik. Pertama tentang kesulitan anak
dalam menulis. Kedua tentang kepekaan sosial dan keterbukaan peserta didik
kepada guru dan orang tua.
B.
Mengajarkan Anak Menulis Sejak Dini
Terdapat polemik di masyarakat
terkait boleh tidaknya anak diajarkan menulis sejak dini. tidak masalah
mengajarkan membaca dan menulis sejak anak usia dini. Biasanya yang
memiliki pendapat untuk membolehkan anak diajarkan baca dan tulis dilatarbelakangi
agar anaknya tidak mengalami kesulitan ketika masuk sekolah dasar. Tuntutan
masuk ke sekolah dasar pada saat ini mensyaratkan bahwa anak sudah mampu untuk
membaca dan menulis. Dengan adanya polemik tersebut, tidak jarang membuat
orangtua menjadi bingung, pendapat mana yang harus diikuti, karena
masing-masing pendapat memiliki alasan yang cukup kuat.
Dalam menyikapinya,
orang tua dan guru harus bersikap bijaksana dengan menentukan solusi
terbaik. Disatu sisi kita sebagai orang tua atau guru tentunya
menginginkan potensi dan kemampuan anak dapat tumbuh optimal melalui stimulasi
pendidikan yang tepat yang akan kita ajarkan kepada mereka, tetapi tetap tidak
mengurangi aktivitas dominan di usia mereka yaitu bermain.
Mengenai
kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi pelajaran, Prof. DR.
Dedi Supriadi, Guru Besar Universitas Pendidikan Bandung, dengan tegas menjawab
bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan
menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan
lain-lainnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah seorang balita bisa diajar
membaca atau tidak tetapi ”Bagaimana mengajar anak balita membaca.”
Perkembangan
pribadi anak sekolah dasar awal usia 6-8 tahun, anak-anak usia 6 tahun secara
emosional cenderung memperlihatkan ketegangan atau tensi yang lebih tinggi
mungkin saja mereka melawan terhadap guru atau orang tuanya. Anak-anak berupaya
mandiri tidak mau bergantung kepada orang dewasa walaupun tetap membutuhkan
ketenangan dan keakraban dari orang dewasa dalam kehidepan mereka sehari-hari[1]
Sedangkan anak-anak usia perkembangan pribadi anak sekolah dasar menengah usia
8-10 tahun terdapat dua ciri yang mendasar yakni ciri kepribadian untuk
mengadakan kerjasama yang tinggi pada penilaian anak kelas empat dan menurun
pada kelas-kelas akhir. Rasa cemas dan ketakutan semakin berkurang terhadap
bahaya-bahaya yang langsung atau mungkin terjadi, tetapi mungkin merasa sangat
ketakutan mengenai situasi-situasi kecil yang tidak mungkin terjadi seperti
hantu, harimau dan tukang sihir.[2]
Selain
perkembangan pribadi anak usia awal dan menengah, ada pula perkembangan anak
usia 10-12 tahun, pada kelas atas inianak-anak cenderung menginternalisasikan
kontrol atau pengawasan diri mereka.Mereka yakin dan percaya bahwa mereka sedang
dalam pengawasan apapun yang terjadi dan merasa lebih bertanggung jawab secara
pribadi atas keberhasilan dan kegagalan mereka. Kemandirian merupakan suatu
ciri utama mereka yang sangat bernilai bagi anak-anak dan perubahan fisik yang
begitu cepat dalam diri mereka membuat anak sadar diri dan mengeritik diri
sendiri, dalam beberapa anak mungkin saja disibukkan atau diasyikkan dalam
memperhatikan penampilan mereka sendiri.[3]
Sosialisasi
menurut para pakar mengacu pada proses yang dialami oleh anak-anak untuk
memperoleh perilaku, keyakinan, norma dan motivasi yang dinilai oleh dan
bernilai bagi keluarga mereka dan kelompok budaya mereka. Sosialisasi dikatakan
terjadi apabila anak-anak mempelajari cara-cara kelompok mereka sehingga mereka
dapat berfungsi dan diterima di dalamnya[4]
Mereka harus belajar menggunakan kontrol perilaku yang agresif, menantang atau
bermusuhan. Anak-anak selalu ingin diterima dalam keluarga, teman-teman serta
masyarakat yang lebih luas. Hubungan-hubungan yang berterima tersebut menuntut
agar anak-anak mengembangkan suatu pengertian mengenai perasaan dan pandangan
orang lain.
Menulis bukan
tentang mengajarkan teori-teori tentang menulis yang cenderung mengawang-awang
dan menjamin produktivitas menulis. Di Indonesia ini banyak sekali ilmuwan
linguistik dan sastra yang tidak berkarya tulis. Sebaliknya, banyak ilmuwan
bukan jebolan sastra yang produktif menulis mengalahkan ilmuwan yang jebolan
fakultas sastra. Itulah bukti kegagalan pengajaran menulis di masa silam. Kini
diperlukan paradigma baru untuk merajut masa depan. [5]
Tidak ada salahnya
mengajari anak menulis sejak dini, karena menulis memang kebutuhan dasar
seseorang untuk belajar setelah membaca, dengan menulis anak dapat memahami
rangkaian kalimat yang selama ini mereka pahami sebagai kata-kata dalam bacaan
atau bicara. Jika generasi kuntum tersebut tidak bisa menulis dengan baik,
bagaimana dengan kejadian masa mendatang, siapa yang akan mencatatnya? Bukankah
sejarah juga dilihat dari bukti tertulisnya?
C.
Desain Diary Guru Dan Peserta Didik
Konsep diary guru dan peserta
didik ini sebenarnya sederhana. Guru memberikan pemahaman pada siswa bahwa
mulai hari ini sampai selanjutnya, kelas tersebut akan mempunyai program baru.
Yakni Diaryku. Setiap peserta didik
memiliki satu buku tulis yang disampul sesuai dengan warna kesukaannya dan
diberi nama. Buku yang digunakan dditentukan seragam baik ukuran atau tebal
bukunya, karena anak usia sekolah dasar memiliki rasa iri yang cukup besar,
jika apa yang dimilikinya tidak sama dengan yang dimiliki temannya. Misal
ditentukan Diaryku menggunakan buku
tulis dengan tebal 38 halaman.
Sebelum
memulai menulis diary, guru memberikan pemahaman bahwa “diary adalah teman, diary adalah sahabat sejati, ia akan mendengarkan
apa yang kita keluhkan dengan senang hati. Oleh karena itu siswa juga harus
jujur dalam menulis diary. Allah pun melihat apa yang kutulis. Meski Bu Guru
tidak tahu, meski ayah dan bunda tidak tahu tapi Allah Maha Tahu, untuk itulah
aku harus jujur dalam menulis. Hay diaryku, jadilah saksi kejujuranku!”
Berikan pula
informasi, bahwa guru dan orang tua juga akan membacanya, tapi guru berjanji
tidak akan memberitahukan ke siapapun tentang semua tulisan yang ada di diary
tersebut. Isinya hanya akan menjadi rahasia antara pemilik diary, guru dan
orang tua Hanya tiga orang ini yang boleh membaca. Berikan kepercayaan bahwa
rahasia mereka akan terjaga. Dan sekali lagi, tanamkan pada anak-anak bahwa
mereka tak perlu malu mengungkapkan apapun. Semuanya. Sesuka hati mereka.Dengan
penanaman kejujuran dan kepercayaan ini siswa akan benar-benar menuliskan apa
yang ia alami dan rasakan. Dengan
kejujuran siswa dalam tulisannya guru dapat mengetahui:
1. Apa yang dilakukan anak di rumah
2. Bagaimana pendapat peserta didik
tentang pembelajaran hari itu?
3. Apa saja kesulitan yang dihadapi?
4. Apa yang dirasakan siswa selama
ini?
5. Bagaimana siswa bercerita mengenai
dirinya, keluarga dan lingkungan sekitarnya
Tak
banyak peserta didik yang berani mengungkapkan keinginannya secara langsung
kepada gurunya maupun orang tuanya, dengan adanya buku diary ini guru dapat
mengetahui cerita jujur anak-anak yang mungkin sudah diungkapkan atau belum
diungkapkan.
Mekanisme diaryku adalah sebagai berikut:
1. Peserta didik menuliskan diary di
rumah, jadi buku diary tersebut dibawa pulang.
2. Keesokan harinya saat datang
kembali ke kelas, anak-anak mengumpulkan di meja guru atau dalam tempat yang
disediakan
3. Guru dapat membaca buku harian itu
saat anak-anak istirahat, begitu seterusnya setiap hari.
Dengan aktifitas menulis
ini secara terus menerus, diharapkan muncul keterbukaan anak kepada guru dan
orang tua. Meski pada awalnya anak-anak malu-malu untuk mengungkapkan apa yang
dirasakannya, tulisannya hanya beberapa baris tapi lama kelamaan mereka akan
terbiasa bercerita dan akan lebih terbuka lagi melalui tulisannya.
Setelah anak
merasa tak ada alasan untuk takut mengungkapkan pendapat, perasaan dan
bercerita melalui tulisan. Anak akan mulai terlatih mengungkapkan gagasan,
perasaan atau ceritanya melalui tulisan. Bicara atau menceritakan langsung
kepada guru atau ayah dan ibu. Kata pepatah jawa, guru digugu lan ditiru. Guru dituruti dan ditiru, tak lantas guru
menjadi seseorang yang begitu berjarak dengan muridnya, seakan-akan murid wajib
hormat dan guru harus dihormati. Alanglah lebih baik jika hubungan guru dan
peserta didik seperti layaknya teman sebaya, tempat bercerita segala yang
dilihat, dan mengungkapkan apa yang menjadi perasaannya atau idenya, senyaman
mungkin, sedekat mungkin, tanpa jarak yang menjadikan mereka sungkan atau
takut. Bukankah guru itu teman belajar?
D.
Menulis Diary Tak Pernah Merugi
Setelah sebulan, atau bahkan
setahun program Diaryku berjalan,
masing-masing peserta didik akan memiliki satu buah buku yang terisi penuh
dengan catatan-catatan harian mereka. Mungkin saja, ada beberapa siswa yang
sudah ganti diary baru karena buku lama sudah habis. Buku-buku ini akan menjadi
jejak pena, atau rekaman perjalanan anak selama menenpuh pembelajaran di
sekolah. Bahkan bisa lebih luas dari itu, karena Diaryku juga berisi curahan hati, ide-ide dan cerita anak-anak itu.
Buku tersebut juga menjadi saksi anak-anak yang telah belajar makna kejujuran
melalui sebuah tulisan. Anak-anak belajar terbuka pada guru dan orang tuanya,
anak-anak juga belajar arti kata percaya, mereka percaya bahwa guru dan orang
tua tak akan membocorkan isi buku itu pada orang lain. Anak-anak juga semakin
memahami, bahwa menulis diary tidak rugi. Buktinya, mereka bisa membaca kembali
cerita atau kejadian sepuluh hari yang lalu. Jika tidak ditulis, barangkali
cerita itu akan dilupakan begitu saja.
Beberapa nama
berikut dikenal karena menulis buku harian. Anne Frank menamai buku hariannya Kity. Ia menjadi sangat terkenal karena
buku harian yang ia tulis selama dalam persembunyian. Gadis Yahudi yang bercita-cita
menjadi bintang film itupun kini popularitasnya melebihi bintang film pada
zamannya. Zlata Filipovic, anak Sarajevo yang dikenal banyak orang karena
menulis buku harian yang mencatat peristiwa
perang saudara antara serbia dan Bosnia di Sarajevo. Ada pula Carolina
Maria de Jesus, wanita dari keluarga miskin di Brasilia kemudian berimigrasi ke
kota Sao Paolo, hidup di perkampungan kumuh yang bernama Fafelada. Ia menjadi
terkenal karena ketekunannya menulis buku harian yang mencatat pengalaman hidupnya
mengenai kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya.
Di
Indonesia, pada pertengahan tahun 70-an pernah terjadi banjir cetakan buku
harian Guntur yang berjudul Sukarno,
Bapakku, Kawanku dan Guruku. Terlepas dari apakah penerbitan buku itu ada
tendensi politisnya, tetapi tampak bahwa melalui buku tersebut dapat dipelajari
bagaimana semangat, kebiasaan, perjalanan dan pandangan politik Sukarno ketika
itu. Tokoh lain yang memanfaatkan waktunya untuk menulis buku harian adalah
Arswendo Atmowiloto yang berjudul Menghitung
Hari. Arswendo menulis buku ini selama ia berada di dalam penjara. Melalui
buku ini, pembaca diajak untuk merefleksikan setiap peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Buku
harian memiliki potensi sebagai mitra, belantara dan lautan tempat mencurahkan
rasa suka, duka, kesal, cemburu, puas, kecewa, sesal dan sebagainya, Dengan
demikian, selain mengembangkan kemampuan menulis, menulis buku harian sapat
sebagai pengembang imajinasi, ekspresi dan kompensasi. Menulis buku harian
merupakan catatan pribadi yang tidak dibebani rasa takut akibat salah tulis,
ejaan kalimat pilihan kata dan sebagainya. Berikut saya kutipkan buku harian
siswa yang diangkat oleh Sudartomo M. dalam artikel ilmiahnya Membangun Komunitas Tulis, berikut ini
Tuhan,
tolonglah saya, saya sering dipukuli SM, saya mohon ampunilah dia dan tolonglah
supaya dia menjadi anak yang baik, dan tolonglah supaya Ot juga menjadi anak
yang baik, dan tolonglah lindungilah saya. Tuhan, maafkan kesalahan saya,
ampunilah saya orang berdosa. Tuhan, ada 1 permintaan saya ingin burung dan
kelinci yang lulut tolong agar ayah dan ibu saya mau mengabulkannya. Terima
kasih tuhan engkau maha kuasa, saya mencintaimu (kelas 3)[7]
Tulisan
di atas mengekspresikan ketidaknyamana, ketakutan juga harapan. Anak tersebut
merasa tidak nyaman ketika dipukuli dan menerima gangguan kenakalan temannya.
Oleh karena itu, dia berharap agar keduanya menjadi anak yang baik melalui
campur tangan Tuhan. Harapan lainnya adalah perlindungan dari Tuhan dan
terpenuhinya keinginana memiliki burung dan kelinci yang lulut. Jika dilihat dari ejaan dan struktur kalimat tentu banyak
yang harus dibenahi. Namun, untuk menunjukkan kepercayaan diri dan keberanian
responsi, tanggapan pembimbing cukup yang sifatnya mengajak, menyaran, mendukung,
menanya dan sejenisnya[8]
Baca
dan rasakan, dalam tulisan di atas pembaca yang mungkin orang dewasa
benar-benar diajak untuk jujur. Jujur dalam bercerita, sikap hidup dan
cita-cita. Anak tersebut dengan polos bercerita tentang kegundahannya, juga keinginannya
yang sederhana tentang burung dan kelinci. Mungkin saja, ia takut menyampaikan
kepada kedua orang tuanya atau sudah menyampaikan berulang kali tapi oleh orang
tuanya tidak dipenuhi. Jika meminta pada orang tua tak menemui perwujudannya,
maka tidak ada cara lain kecuali berdoa. Penanaman kekuatan doa benar-benar
telah tertancap di benaknya. Jika tidak pada Tuhan, pada siapa lagi kita
meminta? Bukankah setiap doa tak pernah tertolak?
E. Manfaat Menulis Diary Untuk Anak
Suplemen Kompas Anak, Minggu, 12 Juni 2005 menyebutkan empat manfaat buku
harian untuk anak diantaranya:
1. Membiasakan diri
menumpahkan unek-unek di buku harian membantu kita melonggarkan emosi, tanpa
perlu menyakiti orang lain. Tulis apa saja yang mengesankanmu hari itu.
Kebahagiaan, kesedihan ataupun kemarahan. Tumpahkan segala emosimu ke dalam
buku harian. Di buku harian pula kita bisa menuliskan cita-cita, keinginan dan
harapan.
2. Kebiasaan menulis
buku harian secara tidak langsung membiasakan diri kita mengutarakan pendapat
secara teratur. Awalnya menulis itu memang sulit, apalagi menuliskan kejadian
dengan lengkap. Tetapi lama-lama akan terbiasa kok. Kita nantinya jadi terbiasa
berpikir terartur dan mampu mengutarakan pendapat secara teratur pula.
3. Siap memecahkan
setiap masalah. Sambil menulis kita jadi biasa dialog dengan diri sendiri,
sekalian mencari solusinya. Kebiasaan ini pun nantinya membantu kita terbiasa
mencari permasalahan secara cepat.
4. Catatan harian yang terkumpul bertahun-tahun
akan menjadi dokumen pribadi. Siapa tahu suatu hari nanti akan bisa menjadi
bahan penulisan buku, bahan renungan untuk memperbaiki diri. [9]
Deasylawaty P mengungkapkan hal lain
tentang manfaat menulis, setidaknya ada 3 hal yang dikemukakan yakni: Pertama, Menulis Membuat Badan Sehat. Menulis
dapat membuat tubuh seseorang sehat, dalam tubuh manusia terdapat hormon-hormon
yang berfungsi mengontrol semua aktivitas di dalam tubuh. Salah satunya adalah
hormon katekolamin atau yang dikenal sebagai hormon stres. Ketika seseorang
mengalami stres, hormon katekolamin ini akan meningkat, dan peningkatan hormon
ini akan meningkatkan kerja beberapa organ tubuh kita. Di antaranya: Denyut
nadi menjadi lebih cepat, detak jantung meningkat, tekanan darah meningkat,
pernapasan meningkat dan pengeluaran keringgat meningkat. Jika hal ini terjadi
terus menerus, tubuh dapat mengalami sakit.
Ketika
seseorang mengalami stres, misalnya marah, sedih dan kecewa. Mereka butuh
pelampiasan agar tak berlarut-larut dan jatuh sakit. Maka akan lebih baik jika
kita tuangkan rasa marah, kecewa dan sedih itu dalam tulisan. Sebanyak yang
kita inginkan, dengan gaya menulis terserah penulis. Dengan menulis perasaan
kita akan lebi baik. Pelampiasan stres yang bermanfaat kan, bukan?
Kedua, Menulis
mencegah menjadi pelupa. Erat hubungannya dengan kerja otak, sebagaimana tubuh
membutuhkan olahraga dan hati membutuhkan ibadah. Otak juga butuh olahraga.
Olahraga otak adalah melatihnya dengan terus berpikir tentang hal-hal yang baik
atau positif.
Bagaimana
agar otak berpikir positif? Di antaranya dengan membiasakan menulis, serta
mengungkapkan apa yang terpikirkan lewat tulisan. Misalnya menulis buku harian.
Dengan kebiasaan inilah otak terus bekerja, dengan demikian otak tidak mudah
lupa atau mengalami kepikunan setelah usia tua. Ibarat pedang, semakin sering
diasah dan digunakan ia semakin baik dan tajam begitu pula dengan otak kita.
Ketiga,
Menulis akan menghasilkan ide-ide baru. Dengan menulis, seseorang akan berpikir
dan terus berusaha mengembangkan kemampuan dirinya. Ini akan membuat si penulis
itu menemukan ide-ide baru, karena saat ia terjun dalam dunia tulis menulis
dirinya terus tertantang membuat kejutan baru dalam tulisan-tulisannya.[10]
Dalam
pembelajaran di sekolah, guru dapat menggunakan diary peserta didik sebagai
bahan review dan pemahaman siswa terhadap materi yang telah diberikan, atau
menilai ibadah anak dan interaksi anak dengan teman-teman dan dunia di
sekitarnya. Dari yang telah dituliskan, jika anak-anak mengalami masalah yang
mungkin tidak pernah diungkapkan sebelumnya. Guru dapat berdialog dengan orang
tua tentang bagaimana solusi terbaik untuk anak tersebut, sehingga guru dan
orang tua dapat membantunya, meski ia tak pernah mengungkapkannya melalui
kata-kata.
F. Diary dan Peningkatan Kemampuan
Anak Menulis
Di
dalam pelajaran Bahasa Indonesia ada kompetensi menulis. Seorang peserta didik
dituntut untuk bisa menulis. Tak hanya menulis kembali yang dituliskan guru
atau yang dijelaskan, tetapi peserta didik juga harus membuat tulisan atau
karangan. Mengarang cerita bebas atau dengan tema tertentu.
Kita
tentu ingat, dulu saat masih duduk dibangku sekolah dasar. Kapankah kita
ditugasi membuat karangan oleh guru? Ya, biasanya menjelang libur sekolah. Tema
tulisan yang ditentukan juga hampir semuanya sama seluruh Indonesia yakni; Berlibur ke Rumah Nenek, Pergi Bertamasya
dan Membantu Orang Tua. Tiga judul inilah yang sering diberikan guru
sebagai pilihan. Setelah liburan usai, peserta didik secara bergantian diminta
bercerita di depan teman-temannya. Ada yang lancar bercerita tanpa membawa
buku, ada pula yang membaca tulisan miliknya dengan takut dan malu.
Aspek
manakah yang menjadi penilaian guru? Ada dua hal yang menjadi penilain.
Pertama, karangan peserta didik yang berupa tulisan, Kedua, keberanian mereka
bercerita di depan kelas. Lancarkah? Takut? Malu? atau malah menangis tidak mau
maju? Itulah anak-anak dengan keberagamannya. Termasuk keberagaman mereka dalam
memahami tulisan dan menulis.
Tidak
semua anak menyukai dunia menulis, namun salah satu aspek penilaian dalam Bahasa
Indonesia adalah menulis. Lalu, bagaimanakah guru harus bersikap? Apabila anak
diperlakukan sebagai penulis, yakni merekalah yang memiliki makna, maka orang
tua dan guru harus menghormati hak-hak mereka untuk menunjukkan kecakapannya.[11]
Oleh karena itu progam untuk meningkatkan kemampuan anak menulis perlu
dilakukan;
Pertama
adalah menulis bebas. Pada program ini anak diberi kebebasan untuk menulis apa
yang ada dalam pikiran mereka. Orang tua atau guru hanya perlu menanyakan apa
yang anak-anak tulis. Dukungan kecil mungkin diperlukan tapi jangan sampai
menumbangkan keinginan anak untuk menulis secara independen.
Kedua
adalah menulis kolaboratif. Pada program ini anak-anak membentuk kelompok dan
bersama-sama menulis apa yang dipikirkan kelompok. Anak dan kelompoknya bersama
memikirkan ide dan menuangkan ide itu. Program ini akan berhasil jika setiap
kelompok terdiri dari anak-anak dalam stage
yang berbeda sehingga anak memiliki kesempatan belajar secara horisontal
dari teman sebaya.
Ketiga
adalah menulis terbimbing. Pada program ini anak-anak menyatakan ide lalu guru
membimbing bagaimana bentuk yang sesuai untuk ide itu. Orang tua dan guru perlu
mendorong agar anak membuat kalimat yang pendek dan sesuai dengan pengalaman
mereka. Program ini dapat dilakukan setelah anak-anak dilibatkan dalam kegiatan
misal: Jalan sehat, senam irama atau lomba-lomba.
Keempat
adalah menulis berbagi. Pada program ini orang tua dan guru terlibat dari awal
hingga akhir proses menulis. Mula-mula guru menulis kata awal lalu melafalkan kata-kata
itu. Biarkan anak menulis kata selanjutnya apabila mampu. Siapapun yang
terlibat dalam proses ini boleh menulis melalui mekanisme bergiliran.
Kelima
adalah menulis kombinasi. Mula-mula biarkan anak menulis bebas lalu menulis
terbimbing dan menulis kolaboratif. Pada tahap akhir menulis berbagi dapat
antara guru dan semua peserta didik. [12]
Menulis
diary sendiri, masuk dalam kategori menulis bebas yang merupakan tahap paling
pertama dalam kemampuan awal menulis. Kemampuan paling awal inilah yang justru
memberikan anak ruang dan kesempatan untuk belajar menulis sesuka hatinya,
belajar menungkan perasaan dan belajar jujur pada diri sendiri. Jika nilai
kejujuran pada diri sendiri sudah tertanam dalam diri anak. Maka besar harapan
kita bahwa anak juga akan bersikap jujur dalam kehidupannya saat berinteraksi
dengan orang lain.
Bermula
dari terbiasa menulis diary, anak akan terbiasa dengan aktifitas ini. Pena dan
kertas akan menjadi sahabatnya. Jika sudah begini maka anak akan dengan mudah
naik pada tahap selanjutnya, termasuk menulis terbimbing, terbagi dan
kolaboratif di atas. Meski tema ditentukan, meski kata awalnya ditentukan ia
tidak akan merasa begitu kesulitan karena menulis dan mengembangkan kata-kata
sudah menjadi kebiasaannya sejak ia memiliki buku diary.
Dengan
guru punya kesempatan membaca buku tersebut, ia akan tahu sampai dimanakah
kemapuan peserta didiknya dalam menulis, mengarang dan mengembangkan pikiran.
Terlihat jelas, karena dari awal guru sudah menanamkan bahwa “Allah pun melihat apa yang kutulis. Meski Bu
Guru tidak tahu, meski ayah dan bunda tidak tahu tapi Allah Maha Tahu, untuk
itulah aku harus jujur dalam menulis. Hay diaryku, jadilah saksi kejujuranku!”
Marilah
kita ingat peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Dari
Sahl bin Sa’ad r.a, Rasulullah SAW pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya
sedikit. Disebelah kanan beliau ada seorang bocah dan di sebelah kiri beliau
duduk para orang tua. Beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau rela jika
minuman ini aku berikan kepada mereka? Si anak menjawab, “Aku tidak rela ya
Rasulullah, aku tidak rela siappaun merebut bagianku darimu” Rasulullah SAW
meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut (HR. Bukhari dan Muslim)
Pelajaran
yang dapat kita ambil dari hadist ini adalah Rasulullah SAW memelihara hak si
anak dengan menyuguhkan minuman terlebih dahulu kepadanya karena ia berada di
samping kanan beliau. Ini adalah bentuk pendidikan yang menjadikan anak seakan
berada dalam jajaran para orang tua dari segi perolehan hak. Ketika anak telah
merasa mengambil haknya, perasaan cintanya pada Rasulullah akan bertambah dan
keimana terhadap risalah beliau akan semakin kokoh, dari sinilah potensi
kreativitasnya akan berkembang dalam naungan dakwah beliau.[13]
Cara
bersikap seperti ini membuat anak merasa berharga. Ia memiliki citra diri yang
baik, tidak menganggap dirinya buruk. Tidak pula memandang orang dewasa dan
lingkungan pada umumnya sebagai sumber ketakutan. Selanjutnya anak akan
memiliki konsep diri yang positif sehingga mampu mengembangkan potensinya
secara optimal. Rasa percaya diri yang amat besar seringkali ditentukan oleh
seberapa baik anak memperoleh perlakuan dari orang tua. Bukan apa yang ia
miliki untuk ditunjukkan kepada orang lain.[14]
Seperti yang telah saya ungkapkan
sebelumnya, bahwa anak akan memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan
apapun yang ia rasakan dan inginkan, setelah membaca diary tersebut guru dan
orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang cerita yang dituliskannya.
Misalkan, si anak bercerita bahwa ia malu karena di dalam kelas, ia memiliki
kulit yang paling hitam. Setelah membacanya, maka orang tua dapat
mengkonfirmasi dan memberi penguatan seperti di bawah ini:
“Kak,
tadi Bunda, baca catatan kakak, Kakak malu ya sama teman karena kulit kakak
paling hitam sendiri di kelas?”, “Jangan malu ya Kak, putih, coklat, hitam itu
semua pemberian Allah, kita tentu tidak dapat meminta, tapi Allah telah
memberikan kepada kita bentuk tubuh yang sebaik-baiknya. Tidak apa-apa kulitnya
hitam, tapi kan manis, sehat dan selalu ceria, iya kan Kak”
Dengan diberi penguatan seperti ini,
besar harapan anak akan memiliki kepercayaan diri yang berlipat daripada
sebelumnya. Anak juga memiliki keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia dalam
sebaik-baiknya penciptaan. Kepercayaan diri dan kepercayaan pada titah Illahi
adalah investasi hidup yang tak bisa dibeli.
G. Penutup
Anak adalah investasi hidup,
begitupun dengan hari-hari mereka yang tertulis dalam diary. Meski aktifitas
ini mudah, namun menulis sejatinya adalah proses pembelajaran yang kontinyu
sepanjang waktu. Melalui perantara diary, diharapkan peserta didik mampu menjadi pribadi terbuka,
peka terhadap lingkungan sekitarnya dan dapat dengan mudah merangkai kata dalam
pembelajaran mengarang dalam Bahasa Indonesia.
Terbuka,
kritis, percaya dan jujur adalah nilai agung yang bisa kita tanamkan pada anak
melalui aktivitas menulis diary ini. Bukan tidak mungkin, melalui aktivitas
sederhana ini, anak-anak mulai berubah pola pikirnya dan mungkin saja, melalui
aktivitas yang guru gagas ini, kelak salah satu dari mereka ada yang
benar-benar mencintai dunia menulis dan menjadi penulis besar yang merubah
dunia ini melalui gagasan briliannya. Saat itulah ia baru merasa, bahwa diary
masa sekolah dasarnya dulu berjasa merubah hidupnya.
Rujukan
Alwasilah,
A. Chaedar & Senny Suzanna Alwasilah. 2013. Pokoknya Menulis. Bandung:
Kiblat Buku Utama.
Alwasilah, Chaedar dkk. 2005. Menuju
Budaya Menulis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nurhayati. P, Afifah Afra & Deasylawaty P. 2013.
Kecil-Kecil Jago Nulis. Surakarta: Lintang
Santi, Danar. 2009. Pendidikan Anak Usia
Dini. Jakarta: PT Indeks
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Dasar-Dasar
Psikosastra. Bandung: Angkasa
[1]
Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar
Psikosastra (Bandung:
Angkasa, 2011) hal. 59
[2]
ibid
[3] ibid., hal.60
[4]
ibid., hal. 64
[5]
A. Chaedar Alwasilah dan Senny Suzanna Alwasilah, Pokoknya Menulis (Bandung:
Kiblat Buku Utama, 2013) hal. 15
[6]
Sudartomo, M. , Menuju Budaya Menulis:
Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005) hal. 10
[7]
Ibid
[8]
Ibid., hal. 11
[9]
Ibid
[11]
Tadkiroatun Musfiroh, Menulis Awal dan
Perkembangannya dalamMenuju Budaya Menulis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) hal. 156
[12]
ibid
[13]
Mohammad Fauzil Adhim, Saat Berharga
Untuk Anak Kita (Yogyakarta:
Pro-U Media, 2014) hal. 87
[14]
Ibid., hal. 89
*Tulisan ini dimuat dalam Antologi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Terbit pada April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar