Sabtu, 11 April 2015

BUKU DIARY GURU DAN PESERTA DIDIK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMBANGUN KETERBUKAAN ANTARA GURU, PESERTA DIDIK DAN ORANG TUA, MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS DAN KEPEKAAN SOSIAL


Rizza Mar’atus Sholikhah
Mahasiswa S2 PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tak semua peserta didik dapat terbuka pada orang lain. Banyak peserta didik yang kesulitan dan takut mengungkapkan ide dan perasaanny kepada guru dan orang tuanya. Ia cenderung takut salah atau tak mempunyai kepercayaan diri. Selain itu anak-anak di sekolah dasar  banyak mengalami kesulitan dalam mengarang. Buku diary guru dan peserta didik hadir sebagai gagasan dan bentuk upaya untuk membangun keterbukaan antara guru, siswa dan orang tua, meningkatkan kemampuan menulis dan kepekaan sosial. Dengan diary ini, anak terlatih menulis, merangkai kalimat dan mengungkapkannya dengan jujur dan percaya diri. Diharapkan anak tak lagi merasa takut untuk mengungkap gagasan, perasaan dan cerita-ceritanya kepada guru dan orang tua.

Kata kunci: Diary, Menulis, Terbuka

A. Pendahuluan
            Anak-anak yang duduk di usia sekolah dasar, baik di kelas rendah (1-3) atau kelas tinggi (4-6) sudah menegenal tentang menulis meskipun banyak kalangan yang masih pro dan kontra tentang mengajarkan membaca dan menulis pada anak usia dini. Sebagian menyatakan bahwa membaca dan menulis pada usia anak sebelum sekolah dasar berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di sekolah dasar. Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal dikemudian hari.   Sebagian lain berpendapat, tidak masalah mengajarkan membaca dan menulis sejak anak usia dini.   Biasanya yang memiliki pendapat untuk membolehkan anak diajarkan baca dan tulis dilatarbelakangi agar anaknya tidak mengalami kesulitan ketika masuk sekolah dasar.   Tuntutan masuk ke sekolah dasar pada saat ini mensyaratkan bahwa anak sudah mampu untuk membaca dan menulis.
            Kenyataannya, anak yang masuk di sekolah dasar hampir seluruhnya bisa membaca, kalaupun ada yang belum bisa, bukan berarti tidak bisa, hanya tinggal melancarkan saja. Paling tidak huruf abjad mereka sudah mengenalnya dengan baik. Yang masih menjadi kendala anak-anak yang belum lancar membaca, biasanya kebingungan membedakan antara huruf b dan d atau u dan n. Selebihnya anak-anak bisa membaca meski dengan mengeja. Tantangan guru sekolah dasar adalah bagaimana membuat anak yang belum lancar membaca menjadi lancar, karena bisa tidak bisa, mau tidak mau membaca adalah aktivitas utama agar kita dapat belajar dengan baik.
            Setelah dapat membaca, anak akan lebih mudah dalam mengikuti langkah belajar selanjutnya yakni menulis. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik melakukan aktivitas menulis dalam banyak aspek, seperti menjawab pertanyaan dan mengarang. Jika menjawab pertanyaan, anak-anak akan lebih mudah , karena jawabannya sudah pasti pernah diungkapkan oleh guru sebelumnya, peserta didik hanya membutuhkan jeda waktu untuk mengingat kembali penjelasan guru atau bacaan lalu menyalinnya dalam baris jawaban, tapi tidak dengan mengarang atau membuat karangan.



            Peserta didik di kelas 3 Sekolah Dasar sudah dikenalkan dengan aktivitas mengarang, karangan singkat yang sederhana, namun banyak anak yang kesulitan pula menemukan kalimat apa selanjutnya yang harus ia tulis. Anak-anak di Sekolah Dasar pada kelas rendah umumnya masih malu mengungkapkan pendapatnya dan takut pada gurunya. Guru dianggap sebagai seseorang yang tinggi dan harus dihormati, akibatnya ada jarak antara peserta didik dan guru di sekolah. Dengan orang tua pun begitu, anak-anak menganggap orang tua sebagai tetua yang harus dihormati bahkan ditakuti, karena islam mengajarkan Surga berada di bawah kaki ibu. Ibu dan ayah adalah sepaket yang harus dihormati. Sehingga anak merasa segan untuk berbincang atau mengungkapkan pendapat dan permintaan. Memang tidak semua anak mengalami hal ini, ada pula anak yang begitu terbuka dengan guru dan orang tuanya, namun tak sedikit pula anak yang tertutup dan tak pernah berinteraksi karena takut akan dimarahi dan sebagaimya.
            Diary guru dan peserta didik bisa menjadi jawaban untuk tiga hal yang dihadapi guru dan orang tua dalam menghadapi peserta didik. Pertama tentang kesulitan anak dalam menulis. Kedua tentang kepekaan sosial dan keterbukaan peserta didik kepada guru dan orang tua.
B. Mengajarkan Anak Menulis Sejak Dini
            Terdapat polemik di masyarakat terkait boleh tidaknya anak diajarkan menulis sejak dini. tidak masalah mengajarkan membaca dan menulis sejak anak usia dini.   Biasanya yang memiliki pendapat untuk membolehkan anak diajarkan baca dan tulis dilatarbelakangi agar anaknya tidak mengalami kesulitan ketika masuk sekolah dasar. Tuntutan masuk ke sekolah dasar pada saat ini mensyaratkan bahwa anak sudah mampu untuk membaca dan menulis. Dengan adanya polemik tersebut, tidak jarang membuat orangtua menjadi bingung, pendapat mana yang harus diikuti, karena masing-masing pendapat memiliki alasan yang cukup kuat.
Dalam menyikapinya, orang tua dan guru harus bersikap bijaksana dengan menentukan solusi terbaik.  Disatu sisi kita sebagai orang tua atau guru tentunya menginginkan potensi dan kemampuan anak dapat tumbuh optimal melalui stimulasi pendidikan yang tepat yang akan kita ajarkan kepada mereka, tetapi tetap tidak mengurangi aktivitas dominan di usia mereka yaitu bermain.
Mengenai kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi pelajaran, Prof. DR. Dedi Supriadi, Guru Besar Universitas Pendidikan Bandung, dengan tegas menjawab bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya.  Pertanyaannya bukan lagi apakah seorang balita bisa diajar membaca atau tidak tetapi  ”Bagaimana mengajar anak balita membaca.”
Perkembangan pribadi anak sekolah dasar awal usia 6-8 tahun, anak-anak usia 6 tahun secara emosional cenderung memperlihatkan ketegangan atau tensi yang lebih tinggi mungkin saja mereka melawan terhadap guru atau orang tuanya. Anak-anak berupaya mandiri tidak mau bergantung kepada orang dewasa walaupun tetap membutuhkan ketenangan dan keakraban dari orang dewasa dalam kehidepan mereka sehari-hari[1] Sedangkan anak-anak usia perkembangan pribadi anak sekolah dasar menengah usia 8-10 tahun terdapat dua ciri yang mendasar yakni ciri kepribadian untuk mengadakan kerjasama yang tinggi pada penilaian anak kelas empat dan menurun pada kelas-kelas akhir. Rasa cemas dan ketakutan semakin berkurang terhadap bahaya-bahaya yang langsung atau mungkin terjadi, tetapi mungkin merasa sangat ketakutan mengenai situasi-situasi kecil yang tidak mungkin terjadi seperti hantu, harimau dan tukang sihir.[2]
Selain perkembangan pribadi anak usia awal dan menengah, ada pula perkembangan anak usia 10-12 tahun, pada kelas atas inianak-anak cenderung menginternalisasikan kontrol atau pengawasan diri mereka.Mereka yakin dan percaya bahwa mereka sedang dalam pengawasan apapun yang terjadi dan merasa lebih bertanggung jawab secara pribadi atas keberhasilan dan kegagalan mereka. Kemandirian merupakan suatu ciri utama mereka yang sangat bernilai bagi anak-anak dan perubahan fisik yang begitu cepat dalam diri mereka membuat anak sadar diri dan mengeritik diri sendiri, dalam beberapa anak mungkin saja disibukkan atau diasyikkan dalam memperhatikan penampilan mereka sendiri.[3]
Sosialisasi menurut para pakar mengacu pada proses yang dialami oleh anak-anak untuk memperoleh perilaku, keyakinan, norma dan motivasi yang dinilai oleh dan bernilai bagi keluarga mereka dan kelompok budaya mereka. Sosialisasi dikatakan terjadi apabila anak-anak mempelajari cara-cara kelompok mereka sehingga mereka dapat berfungsi dan diterima di dalamnya[4] Mereka harus belajar menggunakan kontrol perilaku yang agresif, menantang atau bermusuhan. Anak-anak selalu ingin diterima dalam keluarga, teman-teman serta masyarakat yang lebih luas. Hubungan-hubungan yang berterima tersebut menuntut agar anak-anak mengembangkan suatu pengertian mengenai perasaan dan pandangan orang lain.
Menulis bukan tentang mengajarkan teori-teori tentang menulis yang cenderung mengawang-awang dan menjamin produktivitas menulis. Di Indonesia ini banyak sekali ilmuwan linguistik dan sastra yang tidak berkarya tulis. Sebaliknya, banyak ilmuwan bukan jebolan sastra yang produktif menulis mengalahkan ilmuwan yang jebolan fakultas sastra. Itulah bukti kegagalan pengajaran menulis di masa silam. Kini diperlukan paradigma baru untuk merajut masa depan. [5]
Tidak ada salahnya mengajari anak menulis sejak dini, karena menulis memang kebutuhan dasar seseorang untuk belajar setelah membaca, dengan menulis anak dapat memahami rangkaian kalimat yang selama ini mereka pahami sebagai kata-kata dalam bacaan atau bicara. Jika generasi kuntum tersebut tidak bisa menulis dengan baik, bagaimana dengan kejadian masa mendatang, siapa yang akan mencatatnya? Bukankah sejarah juga dilihat dari bukti tertulisnya?
C. Desain Diary Guru Dan Peserta Didik
            Konsep diary guru dan peserta didik ini sebenarnya sederhana. Guru memberikan pemahaman pada siswa bahwa mulai hari ini sampai selanjutnya, kelas tersebut akan mempunyai program baru. Yakni Diaryku. Setiap peserta didik memiliki satu buku tulis yang disampul sesuai dengan warna kesukaannya dan diberi nama. Buku yang digunakan dditentukan seragam baik ukuran atau tebal bukunya, karena anak usia sekolah dasar memiliki rasa iri yang cukup besar, jika apa yang dimilikinya tidak sama dengan yang dimiliki temannya. Misal ditentukan Diaryku menggunakan buku tulis dengan tebal 38 halaman.
            Sebelum memulai menulis diary, guru memberikan pemahaman bahwa “diary adalah teman, diary adalah sahabat sejati, ia akan mendengarkan apa yang kita keluhkan dengan senang hati. Oleh karena itu siswa juga harus jujur dalam menulis diary. Allah pun melihat apa yang kutulis. Meski Bu Guru tidak tahu, meski ayah dan bunda tidak tahu tapi Allah Maha Tahu, untuk itulah aku harus jujur dalam menulis. Hay diaryku, jadilah saksi kejujuranku!”
Berikan pula informasi, bahwa guru dan orang tua juga akan membacanya, tapi guru berjanji tidak akan memberitahukan ke siapapun tentang semua tulisan yang ada di diary tersebut. Isinya hanya akan menjadi rahasia antara pemilik diary, guru dan orang tua Hanya tiga orang ini yang boleh membaca. Berikan kepercayaan bahwa rahasia mereka akan terjaga. Dan sekali lagi, tanamkan pada anak-anak bahwa mereka tak perlu malu mengungkapkan apapun. Semuanya. Sesuka hati mereka.Dengan penanaman kejujuran dan kepercayaan ini siswa akan benar-benar menuliskan apa yang ia alami dan rasakan.  Dengan kejujuran siswa dalam tulisannya guru dapat mengetahui:
1. Apa yang dilakukan anak di rumah
2. Bagaimana pendapat peserta didik tentang pembelajaran hari itu?
3. Apa saja kesulitan yang dihadapi?
4. Apa yang dirasakan siswa selama ini?
5. Bagaimana siswa bercerita mengenai dirinya, keluarga dan lingkungan sekitarnya
            Tak banyak peserta didik yang berani mengungkapkan keinginannya secara langsung kepada gurunya maupun orang tuanya, dengan adanya buku diary ini guru dapat mengetahui cerita jujur anak-anak yang mungkin sudah diungkapkan atau belum diungkapkan.
Mekanisme diaryku adalah sebagai berikut:
1. Peserta didik menuliskan diary di rumah, jadi buku diary tersebut dibawa pulang.
2. Keesokan harinya saat datang kembali ke kelas, anak-anak mengumpulkan di meja guru atau dalam tempat yang disediakan
3. Guru dapat membaca buku harian itu saat anak-anak istirahat, begitu seterusnya setiap hari.
Dengan aktifitas menulis ini secara terus menerus, diharapkan muncul keterbukaan anak kepada guru dan orang tua. Meski pada awalnya anak-anak malu-malu untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya, tulisannya hanya beberapa baris tapi lama kelamaan mereka akan terbiasa bercerita dan akan lebih terbuka lagi melalui tulisannya.
Setelah anak merasa tak ada alasan untuk takut mengungkapkan pendapat, perasaan dan bercerita melalui tulisan. Anak akan mulai terlatih mengungkapkan gagasan, perasaan atau ceritanya melalui tulisan. Bicara atau menceritakan langsung kepada guru atau ayah dan ibu. Kata pepatah jawa, guru digugu lan ditiru. Guru dituruti dan ditiru, tak lantas guru menjadi seseorang yang begitu berjarak dengan muridnya, seakan-akan murid wajib hormat dan guru harus dihormati. Alanglah lebih baik jika hubungan guru dan peserta didik seperti layaknya teman sebaya, tempat bercerita segala yang dilihat, dan mengungkapkan apa yang menjadi perasaannya atau idenya, senyaman mungkin, sedekat mungkin, tanpa jarak yang menjadikan mereka sungkan atau takut. Bukankah guru itu teman belajar?
D. Menulis Diary Tak Pernah Merugi
            Setelah sebulan, atau bahkan setahun program Diaryku berjalan, masing-masing peserta didik akan memiliki satu buah buku yang terisi penuh dengan catatan-catatan harian mereka. Mungkin saja, ada beberapa siswa yang sudah ganti diary baru karena buku lama sudah habis. Buku-buku ini akan menjadi jejak pena, atau rekaman perjalanan anak selama menenpuh pembelajaran di sekolah. Bahkan bisa lebih luas dari itu, karena Diaryku juga berisi curahan hati, ide-ide dan cerita anak-anak itu. Buku tersebut juga menjadi saksi anak-anak yang telah belajar makna kejujuran melalui sebuah tulisan. Anak-anak belajar terbuka pada guru dan orang tuanya, anak-anak juga belajar arti kata percaya, mereka percaya bahwa guru dan orang tua tak akan membocorkan isi buku itu pada orang lain. Anak-anak juga semakin memahami, bahwa menulis diary tidak rugi. Buktinya, mereka bisa membaca kembali cerita atau kejadian sepuluh hari yang lalu. Jika tidak ditulis, barangkali cerita itu akan dilupakan begitu saja.
Beberapa nama berikut dikenal karena menulis buku harian. Anne Frank menamai buku hariannya Kity. Ia menjadi sangat terkenal karena buku harian yang ia tulis selama dalam persembunyian. Gadis Yahudi yang bercita-cita menjadi bintang film itupun kini popularitasnya melebihi bintang film pada zamannya. Zlata Filipovic, anak Sarajevo yang dikenal banyak orang karena menulis buku harian yang mencatat peristiwa  perang saudara antara serbia dan Bosnia di Sarajevo. Ada pula Carolina Maria de Jesus, wanita dari keluarga miskin di Brasilia kemudian berimigrasi ke kota Sao Paolo, hidup di perkampungan kumuh yang bernama Fafelada. Ia menjadi terkenal karena ketekunannya menulis buku harian yang mencatat pengalaman hidupnya mengenai kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya.
Di Indonesia, pada pertengahan tahun 70-an pernah terjadi banjir cetakan buku harian Guntur yang berjudul Sukarno, Bapakku, Kawanku dan Guruku. Terlepas dari apakah penerbitan buku itu ada tendensi politisnya, tetapi tampak bahwa melalui buku tersebut dapat dipelajari bagaimana semangat, kebiasaan, perjalanan dan pandangan politik Sukarno ketika itu. Tokoh lain yang memanfaatkan waktunya untuk menulis buku harian adalah Arswendo Atmowiloto yang berjudul Menghitung Hari. Arswendo menulis buku ini selama ia berada di dalam penjara. Melalui buku ini, pembaca diajak untuk merefleksikan setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Buku harian memiliki potensi sebagai mitra, belantara dan lautan tempat mencurahkan rasa suka, duka, kesal, cemburu, puas, kecewa, sesal dan sebagainya, Dengan demikian, selain mengembangkan kemampuan menulis, menulis buku harian sapat sebagai pengembang imajinasi, ekspresi dan kompensasi. Menulis buku harian merupakan catatan pribadi yang tidak dibebani rasa takut akibat salah tulis, ejaan kalimat pilihan kata dan sebagainya. Berikut saya kutipkan buku harian siswa yang diangkat oleh Sudartomo M. dalam artikel ilmiahnya Membangun Komunitas Tulis, berikut ini
Tuhan, tolonglah saya, saya sering dipukuli SM, saya mohon ampunilah dia dan tolonglah supaya dia menjadi anak yang baik, dan tolonglah supaya Ot juga menjadi anak yang baik, dan tolonglah lindungilah saya. Tuhan, maafkan kesalahan saya, ampunilah saya orang berdosa. Tuhan, ada 1 permintaan saya ingin burung dan kelinci yang lulut tolong agar ayah dan ibu saya mau mengabulkannya. Terima kasih tuhan engkau maha kuasa, saya mencintaimu (kelas 3)[7]
Tulisan di atas mengekspresikan ketidaknyamana, ketakutan juga harapan. Anak tersebut merasa tidak nyaman ketika dipukuli dan menerima gangguan kenakalan temannya. Oleh karena itu, dia berharap agar keduanya menjadi anak yang baik melalui campur tangan Tuhan. Harapan lainnya adalah perlindungan dari Tuhan dan terpenuhinya keinginana memiliki burung dan kelinci yang lulut. Jika dilihat dari ejaan dan struktur kalimat tentu banyak yang harus dibenahi. Namun, untuk menunjukkan kepercayaan diri dan keberanian responsi, tanggapan pembimbing cukup yang sifatnya mengajak, menyaran, mendukung, menanya dan sejenisnya[8]      
Baca dan rasakan, dalam tulisan di atas pembaca yang mungkin orang dewasa benar-benar diajak untuk jujur. Jujur dalam bercerita, sikap hidup dan cita-cita. Anak tersebut dengan polos bercerita tentang kegundahannya, juga keinginannya yang sederhana tentang burung dan kelinci. Mungkin saja, ia takut menyampaikan kepada kedua orang tuanya atau sudah menyampaikan berulang kali tapi oleh orang tuanya tidak dipenuhi. Jika meminta pada orang tua tak menemui perwujudannya, maka tidak ada cara lain kecuali berdoa. Penanaman kekuatan doa benar-benar telah tertancap di benaknya. Jika tidak pada Tuhan, pada siapa lagi kita meminta? Bukankah setiap doa tak pernah tertolak?
E. Manfaat Menulis Diary Untuk Anak
     Suplemen Kompas Anak, Minggu, 12 Juni 2005 menyebutkan empat manfaat buku harian untuk anak diantaranya:
1. Membiasakan diri menumpahkan unek-unek di buku harian membantu kita melonggarkan emosi, tanpa perlu menyakiti orang lain. Tulis apa saja yang mengesankanmu hari itu. Kebahagiaan, kesedihan ataupun kemarahan. Tumpahkan segala emosimu ke dalam buku harian. Di buku harian pula kita bisa menuliskan cita-cita, keinginan dan harapan.
2. Kebiasaan menulis buku harian secara tidak langsung membiasakan diri kita mengutarakan pendapat secara teratur. Awalnya menulis itu memang sulit, apalagi menuliskan kejadian dengan lengkap. Tetapi lama-lama akan terbiasa kok. Kita nantinya jadi terbiasa berpikir terartur dan mampu mengutarakan pendapat secara teratur pula.
3. Siap memecahkan setiap masalah. Sambil menulis kita jadi biasa dialog dengan diri sendiri, sekalian mencari solusinya. Kebiasaan ini pun nantinya membantu kita terbiasa mencari permasalahan secara cepat.
4.  Catatan harian yang terkumpul bertahun-tahun akan menjadi dokumen pribadi. Siapa tahu suatu hari nanti akan bisa menjadi bahan penulisan buku, bahan renungan untuk memperbaiki diri. [9]
     Deasylawaty P mengungkapkan hal lain tentang manfaat menulis, setidaknya ada 3 hal yang dikemukakan yakni: Pertama, Menulis Membuat Badan Sehat. Menulis dapat membuat tubuh seseorang sehat, dalam tubuh manusia terdapat hormon-hormon yang berfungsi mengontrol semua aktivitas di dalam tubuh. Salah satunya adalah hormon katekolamin atau yang dikenal sebagai hormon stres. Ketika seseorang mengalami stres, hormon katekolamin ini akan meningkat, dan peningkatan hormon ini akan meningkatkan kerja beberapa organ tubuh kita. Di antaranya: Denyut nadi menjadi lebih cepat, detak jantung meningkat, tekanan darah meningkat, pernapasan meningkat dan pengeluaran keringgat meningkat. Jika hal ini terjadi terus menerus, tubuh dapat mengalami sakit.
Ketika seseorang mengalami stres, misalnya marah, sedih dan kecewa. Mereka butuh pelampiasan agar tak berlarut-larut dan jatuh sakit. Maka akan lebih baik jika kita tuangkan rasa marah, kecewa dan sedih itu dalam tulisan. Sebanyak yang kita inginkan, dengan gaya menulis terserah penulis. Dengan menulis perasaan kita akan lebi baik. Pelampiasan stres yang bermanfaat kan, bukan?
Kedua, Menulis mencegah menjadi pelupa. Erat hubungannya dengan kerja otak, sebagaimana tubuh membutuhkan olahraga dan hati membutuhkan ibadah. Otak juga butuh olahraga. Olahraga otak adalah melatihnya dengan terus berpikir tentang hal-hal yang baik atau positif.
Bagaimana agar otak berpikir positif? Di antaranya dengan membiasakan menulis, serta mengungkapkan apa yang terpikirkan lewat tulisan. Misalnya menulis buku harian. Dengan kebiasaan inilah otak terus bekerja, dengan demikian otak tidak mudah lupa atau mengalami kepikunan setelah usia tua. Ibarat pedang, semakin sering diasah dan digunakan ia semakin baik dan tajam begitu pula dengan otak kita.
Ketiga, Menulis akan menghasilkan ide-ide baru. Dengan menulis, seseorang akan berpikir dan terus berusaha mengembangkan kemampuan dirinya. Ini akan membuat si penulis itu menemukan ide-ide baru, karena saat ia terjun dalam dunia tulis menulis dirinya terus tertantang membuat kejutan baru dalam tulisan-tulisannya.[10]
Dalam pembelajaran di sekolah, guru dapat menggunakan diary peserta didik sebagai bahan review dan pemahaman siswa terhadap materi yang telah diberikan, atau menilai ibadah anak dan interaksi anak dengan teman-teman dan dunia di sekitarnya. Dari yang telah dituliskan, jika anak-anak mengalami masalah yang mungkin tidak pernah diungkapkan sebelumnya. Guru dapat berdialog dengan orang tua tentang bagaimana solusi terbaik untuk anak tersebut, sehingga guru dan orang tua dapat membantunya, meski ia tak pernah mengungkapkannya melalui kata-kata.
F. Diary dan Peningkatan Kemampuan Anak Menulis
Di dalam pelajaran Bahasa Indonesia ada kompetensi menulis. Seorang peserta didik dituntut untuk bisa menulis. Tak hanya menulis kembali yang dituliskan guru atau yang dijelaskan, tetapi peserta didik juga harus membuat tulisan atau karangan. Mengarang cerita bebas atau dengan tema tertentu.
Kita tentu ingat, dulu saat masih duduk dibangku sekolah dasar. Kapankah kita ditugasi membuat karangan oleh guru? Ya, biasanya menjelang libur sekolah. Tema tulisan yang ditentukan juga hampir semuanya sama seluruh Indonesia yakni; Berlibur ke Rumah Nenek, Pergi Bertamasya dan Membantu Orang Tua. Tiga judul inilah yang sering diberikan guru sebagai pilihan. Setelah liburan usai, peserta didik secara bergantian diminta bercerita di depan teman-temannya. Ada yang lancar bercerita tanpa membawa buku, ada pula yang membaca tulisan miliknya dengan takut dan malu.
Aspek manakah yang menjadi penilaian guru? Ada dua hal yang menjadi penilain. Pertama, karangan peserta didik yang berupa tulisan, Kedua, keberanian mereka bercerita di depan kelas. Lancarkah? Takut? Malu? atau malah menangis tidak mau maju? Itulah anak-anak dengan keberagamannya. Termasuk keberagaman mereka dalam memahami tulisan dan menulis.
Tidak semua anak menyukai dunia menulis, namun salah satu aspek penilaian dalam Bahasa Indonesia adalah menulis. Lalu, bagaimanakah guru harus bersikap? Apabila anak diperlakukan sebagai penulis, yakni merekalah yang memiliki makna, maka orang tua dan guru harus menghormati hak-hak mereka untuk menunjukkan kecakapannya.[11] Oleh karena itu progam untuk meningkatkan kemampuan anak menulis perlu dilakukan;
Pertama adalah menulis bebas. Pada program ini anak diberi kebebasan untuk menulis apa yang ada dalam pikiran mereka. Orang tua atau guru hanya perlu menanyakan apa yang anak-anak tulis. Dukungan kecil mungkin diperlukan tapi jangan sampai menumbangkan keinginan anak untuk menulis secara independen.
Kedua adalah menulis kolaboratif. Pada program ini anak-anak membentuk kelompok dan bersama-sama menulis apa yang dipikirkan kelompok. Anak dan kelompoknya bersama memikirkan ide dan menuangkan ide itu. Program ini akan berhasil jika setiap kelompok terdiri dari anak-anak dalam stage yang berbeda sehingga anak memiliki kesempatan belajar secara horisontal dari teman sebaya.
Ketiga adalah menulis terbimbing. Pada program ini anak-anak menyatakan ide lalu guru membimbing bagaimana bentuk yang sesuai untuk ide itu. Orang tua dan guru perlu mendorong agar anak membuat kalimat yang pendek dan sesuai dengan pengalaman mereka. Program ini dapat dilakukan setelah anak-anak dilibatkan dalam kegiatan misal: Jalan sehat, senam irama atau lomba-lomba.
Keempat adalah menulis berbagi. Pada program ini orang tua dan guru terlibat dari awal hingga akhir proses menulis. Mula-mula guru menulis kata awal lalu melafalkan kata-kata itu. Biarkan anak menulis kata selanjutnya apabila mampu. Siapapun yang terlibat dalam proses ini boleh menulis melalui mekanisme bergiliran.
Kelima adalah menulis kombinasi. Mula-mula biarkan anak menulis bebas lalu menulis terbimbing dan menulis kolaboratif. Pada tahap akhir menulis berbagi dapat antara guru dan semua peserta didik. [12]
Menulis diary sendiri, masuk dalam kategori menulis bebas yang merupakan tahap paling pertama dalam kemampuan awal menulis. Kemampuan paling awal inilah yang justru memberikan anak ruang dan kesempatan untuk belajar menulis sesuka hatinya, belajar menungkan perasaan dan belajar jujur pada diri sendiri. Jika nilai kejujuran pada diri sendiri sudah tertanam dalam diri anak. Maka besar harapan kita bahwa anak juga akan bersikap jujur dalam kehidupannya saat berinteraksi dengan orang lain.
Bermula dari terbiasa menulis diary, anak akan terbiasa dengan aktifitas ini. Pena dan kertas akan menjadi sahabatnya. Jika sudah begini maka anak akan dengan mudah naik pada tahap selanjutnya, termasuk menulis terbimbing, terbagi dan kolaboratif di atas. Meski tema ditentukan, meski kata awalnya ditentukan ia tidak akan merasa begitu kesulitan karena menulis dan mengembangkan kata-kata sudah menjadi kebiasaannya sejak ia memiliki buku diary.
Dengan guru punya kesempatan membaca buku tersebut, ia akan tahu sampai dimanakah kemapuan peserta didiknya dalam menulis, mengarang dan mengembangkan pikiran. Terlihat jelas, karena dari awal guru sudah menanamkan bahwa “Allah pun melihat apa yang kutulis. Meski Bu Guru tidak tahu, meski ayah dan bunda tidak tahu tapi Allah Maha Tahu, untuk itulah aku harus jujur dalam menulis. Hay diaryku, jadilah saksi kejujuranku!”
Marilah kita ingat peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Dari Sahl bin Sa’ad r.a, Rasulullah SAW pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya sedikit. Disebelah kanan beliau ada seorang bocah dan di sebelah kiri beliau duduk para orang tua. Beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau rela jika minuman ini aku berikan kepada mereka? Si anak menjawab, “Aku tidak rela ya Rasulullah, aku tidak rela siappaun merebut bagianku darimu” Rasulullah SAW meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut (HR. Bukhari dan Muslim)
Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadist ini adalah Rasulullah SAW memelihara hak si anak dengan menyuguhkan minuman terlebih dahulu kepadanya karena ia berada di samping kanan beliau. Ini adalah bentuk pendidikan yang menjadikan anak seakan berada dalam jajaran para orang tua dari segi perolehan hak. Ketika anak telah merasa mengambil haknya, perasaan cintanya pada Rasulullah akan bertambah dan keimana terhadap risalah beliau akan semakin kokoh, dari sinilah potensi kreativitasnya akan berkembang dalam naungan dakwah beliau.[13]
Cara bersikap seperti ini membuat anak merasa berharga. Ia memiliki citra diri yang baik, tidak menganggap dirinya buruk. Tidak pula memandang orang dewasa dan lingkungan pada umumnya sebagai sumber ketakutan. Selanjutnya anak akan memiliki konsep diri yang positif sehingga mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Rasa percaya diri yang amat besar seringkali ditentukan oleh seberapa baik anak memperoleh perlakuan dari orang tua. Bukan apa yang ia miliki untuk ditunjukkan kepada orang lain.[14]
            Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, bahwa anak akan memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan apapun yang ia rasakan dan inginkan, setelah membaca diary tersebut guru dan orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang cerita yang dituliskannya. Misalkan, si anak bercerita bahwa ia malu karena di dalam kelas, ia memiliki kulit yang paling hitam. Setelah membacanya, maka orang tua dapat mengkonfirmasi dan memberi penguatan seperti di bawah ini:
“Kak, tadi Bunda, baca catatan kakak, Kakak malu ya sama teman karena kulit kakak paling hitam sendiri di kelas?”, “Jangan malu ya Kak, putih, coklat, hitam itu semua pemberian Allah, kita tentu tidak dapat meminta, tapi Allah telah memberikan kepada kita bentuk tubuh yang sebaik-baiknya. Tidak apa-apa kulitnya hitam, tapi kan manis, sehat dan selalu ceria, iya kan Kak”
            Dengan diberi penguatan seperti ini, besar harapan anak akan memiliki kepercayaan diri yang berlipat daripada sebelumnya. Anak juga memiliki keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya penciptaan. Kepercayaan diri dan kepercayaan pada titah Illahi adalah investasi hidup yang tak bisa dibeli.
G. Penutup
            Anak adalah investasi hidup, begitupun dengan hari-hari mereka yang tertulis dalam diary. Meski aktifitas ini mudah, namun menulis sejatinya adalah proses pembelajaran yang kontinyu sepanjang waktu. Melalui perantara diary, diharapkan  peserta didik mampu menjadi pribadi terbuka, peka terhadap lingkungan sekitarnya dan dapat dengan mudah merangkai kata dalam pembelajaran mengarang dalam Bahasa Indonesia. 
Terbuka, kritis, percaya dan jujur adalah nilai agung yang bisa kita tanamkan pada anak melalui aktivitas menulis diary ini. Bukan tidak mungkin, melalui aktivitas sederhana ini, anak-anak mulai berubah pola pikirnya dan mungkin saja, melalui aktivitas yang guru gagas ini, kelak salah satu dari mereka ada yang benar-benar mencintai dunia menulis dan menjadi penulis besar yang merubah dunia ini melalui gagasan briliannya. Saat itulah ia baru merasa, bahwa diary masa sekolah dasarnya dulu berjasa merubah hidupnya.
Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar & Senny Suzanna Alwasilah. 2013. Pokoknya Menulis. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Alwasilah, Chaedar dkk. 2005. Menuju Budaya Menulis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nurhayati. P, Afifah Afra & Deasylawaty P. 2013. Kecil-Kecil Jago Nulis. Surakarta: Lintang
Santi, Danar. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa
                                                 



[1] Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar Psikosastra (Bandung: Angkasa, 2011) hal. 59
[2] ibid
[3] ibid., hal.60
[4] ibid., hal. 64
[5] A. Chaedar Alwasilah dan Senny Suzanna Alwasilah, Pokoknya Menulis (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2013) hal. 15

[6] Sudartomo, M. , Menuju Budaya Menulis: Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) hal. 10

[7] Ibid
[8] Ibid., hal. 11
[9] Ibid
[10] Deasylawaty P dkk, Kecil-Kecil Jago Nulis (Surakarta: Indiva Media Kreasi, 2013) hal. 88-91


[11] Tadkiroatun Musfiroh, Menulis Awal dan Perkembangannya dalamMenuju Budaya Menulis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) hal. 156
[12] ibid
[13] Mohammad Fauzil Adhim, Saat Berharga Untuk Anak Kita (Yogyakarta: Pro-U Media, 2014) hal. 87
[14] Ibid., hal. 89

*Tulisan ini dimuat dalam Antologi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Terbit pada April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar