Sabtu, 02 Mei 2015

CERPEN ISTRI CERPENIS (REPUBLIKA, 3 Mei 2015)

ISTRI CERPENIS

Dulu aku jatuh cinta karena cerpen-cerpennya. Ada pelet dalam kata-katanya. Memang iya, aku jatuh cinta padanya bukan melihat wajah, pekerjaannya atau kendaraannya. Dia tak lebih tampan dari pria kebanyakan. Bukan pegawai negeri seperti menantu idaman ibu-ibu. Aku masih ingat, Saat ditanya oleh ayahku apa pekerjaannya untuk menghidupiku Dia dengan lantang menjawab, “Saya cerpenis Pak”.
***
Seperti pagi sebelum-sebelumnya, aku mengantar pisang goreng buatanku ke warung Mbak Karsi, aku menitipkan pisang goreng yang kubuat selepas Shubuh. Resep warisan ibu, seperempat tepung beras dan sedikit terigu, cukup membuat pisang goreng hangatku digemari pembeli.
“Kasihan ya Mira, harus kerja buat pisang goreng begitu, eh suaminya malah nggak kerja” aku berusaha menulikan telingaku, “Salah sendiri dulu milih Hadi, coba kalau Mira kawin sama Ikbal anaknya Pak Naryo, pasti sekarang dia nggak harus hidup susah begitu”
Padahal Shubuh tadi aku sudah berdoa, semoga ibu-ibu tak membicarakan tentang suamiku lagi, aku sudah tak tahan dengan semua bisik-bisik itu, tapi rupanya doaku belum terkabul sekarang. Aku memilih pergi dari warung itu, aku tak mau makan hati pagi-pagi. Tak tahu asal muasalnya darimana, cerita tentang suamiku seempuk pisang goreng hangat di mulut mereka. Nikmat. Lumat.


Kulihat suamiku sudah memegang gagang sapu dan tersenyum padaku, “Habis jalan-jalan pagi ya Dik!” Begitu sapanya dengan senyum khasnya. Aku hanya memandangnya sebentar, membalas senyum sedikit lalu masuk ke rumah. Aku ingin melihat Faiza, biasanya dia sudah bangun sepagi ini. Faiza putri kami, lahir enam bulan lalu. Kulihat  Faiza sudah bermain dengan pena di dipan. Pena itu sudah basah dibagian punggungnya, pasti sudah berkali-kali masuk di mulutnya. Inilah rumahku, pena ada dimana-mana.
Kugendong putriku, setiap pagi aku suka memandangi wajahnya. Pipi yang tirus seperti ayahnya, hidung yang mancung seperti ayahnya, rambut yang lebat separti ayahnya. Semua seperti ayahnya, tak ada yang sepertiku. Kupastikan kelak dia lebih ayu dariku. Lalu kulihat Faiza memandangku dan tersenyum lebar. Senyum yang menular padaku.
 “Nah gitu dong senyum” suara Mas Hadi mengagetkanku, “ada apa Dik?” Mas Hadi mengambil Faiza dari gendongaku.
“Mas, Mira buatin kopi ya, Mas belum buat kopi kan pagi ini? Mira buatin ya!  masak Mas Hadi tiap hari buat kopi sendiri, Mira kan jadi malu” aku mengucapkan kata itu sambil berjalan ke dapur
“Malu sama siapa Bu” Mas Hadi menguntit di belakangku, memanggilku ‘Bu’ begitulah Faiza memanggilku jika sudah bisa bicara nanti.
“Malu sama Ayah lah, kan seharusnya ibu yang buatin ayah kopi, istri kan seharusnya begitu” aku kini memanggilnya ‘Ayah’  begitulah Faiza memanggilnya jika sudah bisa bicara nanti.
 “Aku menikahimu untuk jadi temanku, istri dan ibu dari anakku Dik, untuk apa harus terbebani hal yang bisa kulakukan sendiri? Kamu istriku bukan pembantuku”  pandangannya menusuk mataku, aku terdiam.
***
 Jujur saja, selama ini peranku sebagai istri mungkin hanya melahirkan dan menyusui Faiza, sementara tugas rumah tangga selalu kami kerjakan berdua. Membersihkan rumah, mencuci, menjemur, memasak semuanya kami lakukan bersama. Bahkan saat aku hamil tua, suamiku yang lebih banyak mengerjakan itu semua.
Suamiku selalu ada untukku, selalu di rumah bersamaku. Kadang-kadang ada undangan menjadi pemateri menulis adik-adik di almamaternya. Sekedar berbagi ilmu dan melepas kangen, begitu katanya. Selebihnya, suamiku selalu di rumah layaknya ibu rumah tangga. Untuk itulah semua orang menggunjingnya lelaki tunakarya. Pengangguran dan tak berguna, “Apa gunanya punya suami kalau tak bekerja?” itu yang kudengar dari mulut mereka.
Ingin kuteriakkan ke semua orang bahwa suamiku tidak tunakarya. Dia bekerja! Dia bekerja! Dia menulis apa saja yang ada dipikirannya ke dalam blocknote lalu menyalinnya ke laptop. Lima belas menit, 30 menit, satu jam, dua jam. Kadang dia beranjak dari depan laptopnya, berjalan mondar-mandir seperti setrika. Itulah sebabnya, di rumahku pena ada dimana-mana.
Dia benar-benar gila membaca dan menulis. Di depan laptopnya jemarinya menari. Suara ‘pletik-pletik’ dari laptonya terdengar seperti langkah kaki yang memburu. Kadang ‘pletik-pletik’ itu berhenti, mungkin suamiku sedang berpikir, entah tentang apa, lalu melanjutkan lagi, lagi dan lagi.
Suamiku seorang cerpenis. Penulis cerita pendek. Cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca sekali duduk. Itu saja pelajaran sekolah tentang cerpen yang masih kuingat hingga kini. Jika kutanya mengapa dia lebih menyukai menulis cerpen daripada novel dia hanya tersenyum.
 “Ada apa Dik, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi?” Mas Hadi lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Kopi pagi yang kubuatkan untuknya utuh dan Faiza sudah lelap. Semilir pagi membuat bayiku terlelap lagi “Nggak ada apa-apa Mas, sudah Mas mandi sana, bau tuh” kataku meledeknya. 
“Sekali lagi Mas tanya Dik”, dia memandang mataku lekat “ada apa?” Semenit, tiga menit aku terdiam. Mas Hadi berlalu meninggalkan aku.
***
Aku harus bilang apa ke Mas Hadi? Bilang kalau sejak beberapa hari yang lalu di telah menjadi selebriti ibu-ibu? Bilang kalau dia dicap lelaki tunakarya dan tak ada gunanya sebagai lelaki? Ah, itu pasti menyakitkan sekali, harga dirinya sebagai lelaki akan koyak.
Aku yakin Mas Hadi belum pernah mendengar gunjingan murahan ini sebelumnya, karena aktivitas Mas Hadi hanya rumah, masjid dan memenuhi undangan tetangga untuk doa besama atau kerja bakti. Semua temannya lelaki, rasanya tak mungkin lelaki  membicarakan hal  yang mengoyak harga diri  mereka sendiri. Lagipula mulut lelaki tak seelastis mulut perempuan.
***
Nana teman kuliahku pernah meneleponku, dia menceritakan suaminya yang baru saja diangkat jadi PNS sedangkan Irma, suaminya seorang pembisnis yang punya ratusan pegawai. Sebagai teman yang baik aku mengucapkan selamat atas keberhasilan suami mereka dengan karirnya, tapi sebagai perempuan dan istri ada rasa iri yang datang menepi hati.
Dua bulan ini, tulisan Mas Hadi tak ada yang dimuat di koran atau majalah manapun. Praktis tak ada serupiah pun masuk ke rekeningnya sebagai nafkah untukku dan Faiza. Aku harus menghemat uang honor tulisan dua bulan lalu. Cukup tidak cukup harus cukup, aku ingat pesan ayah, lebih baik makan seadanya daripada harus berhutang ke tetangga.
Aku mencoba bersabar dengan ini tapi sesabar-sabarnya istri, mana ada yang tahan dua bulan tanpa tambahan uang? Untung saja aku rutin nyetok pisang goreng tiap pagi. Uang dari penjualan pisang goreng itu kugunakan untuk menyambung hidup. Sebagai istri, aku tak tega membiarkan suamiku menanggung penghidupan kami seorang diri.
Dia masih menulis setiap hari meski tak ada satu pun yang dimuat. Disaat seperti ini aku ingin bekerja apa saja yang gajinya bulanan, paling tidak ada pemasukan pasti, tak seperti sekarang  yang menunggu kepastian cerpen suamiku ada di koran. Padahal kami tahu, setiap harinya redaksi menerima ratusan cerpen.
Suamiku selalu jingkrak-jingkrak dan mengajakku berputar seperti anak kecil setelah menerima telepon dari redaksi yang mengabarkan cerpennya akan dimuat. Ia senyum-senyum sendiri seperti membaca pesan singkat dari seorang kekasih ketika teman sesama penulis mengabarkan cerpennya dimuat di koran A atau majalah B. Matanya berbinar saat ia meminta izin padaku pergi mengisi materi kepenulisan untuk almamaternya dulu.
Cerpennya yang sering dimuat di media masa dan keseriusannya menekuni dunia kepenulisan membuatnya dinilai bisa menjadi pemateri bagi pelatihan kepenulisan yang diadakan adik-adik kelasnya. Pulang dari acara itu dengan mata berbinar dia menceritakan apa saja yang ia berikan selama materi berlangsung, pertanyaan-pertanyaan apa saja yang peserta tanyakan. Dia ceritakan semuanya. Aku terdiam, menikmati binar mata dan senyum girang yang tak ada habis-habisnya.
Jika beruntung suamiku mendapatkan bingkisan dari panitia penyelenggara pelatihan kepenulisan itu, isinya macam-macam, kadang  sembako, buah-buahan hingga kue-kue. Tak jarang ada selipan amplop di dalamnya.“Uang itu untukmu dan Faiza, simpan saja” ucapnya setiap kali aku hendak menyerahkan uang itu padanya. Begitulah suamiku, dia seperti tak butuh uang. Dia hanya membaca, menulis. Membaca lagi dan menulis lagi. Semua uang yang ia dapatkan diserahkan padaku.

Biar, biar saja aku yang tahu pergunjingan ibu-ibu itu. Aku tak mau membenani pikirannya dengan hal semacam itu. Dunia imajinasinya tak boleh teracuni. Pikirannya harus tenang. Jika tenang ia akan menemukan ide tulisan yang brilian, paparan kata yang mengagumkan dan kuharap itu akan memikat hati redaktur. Aku rindu binar mata miliknya. Binar bahagia saat cerpennya ada di media massa
***
 “Ayah, Faiza sudah mandi nih Yah, sudah cantik dan wangi” aku sengaja mencari suamiku, biar dia yang mengajak main Faiza, sementara aku akan mencuci baju. Kuletakkan Faiza dipunggung Mas Hadi yang tengkurap di karpet. Faiza bergerak-gerak, namun Mas Hadi diam saja. Tertidur. Di bawah kepalanya ada buku dan didepannya microsoft word masih menyala, ada rancangan naskah cerpen yang baru dibuatnya. Kubaca judulnya ‘Istri Cerpenis’. Mataku mengabut. Kubisikkan di telinganya “Teruslah menulis Mas, jangan pernah berhenti. Mira bangga jadi istri cerpenis sepertimu”
Jogja, April 2015

-------------------
Alhamdulillah, akhirnya dimuat juga di Republika.
Saya mengirim naskah tanggal 23 April 2015 dan dimuat tanggal 3 Mei 2015, masa tunggu hanya 10 hari! Cepat kan? Alhamdulillah!
Kalau kamu mau ngirim cerpenmu juga, kirim kesini sekretariat@republika.co.id
Beri biodata lengkap, alamat dan nomer rekening di badan email.
Honornya 400.000 di potong pajak (entah berapa persen ) tinggal 370.000 yang nangkring di rekening. Once again, alhamdulillah
Tapi sabar ya, honornya baru ditransfer sebulan setelah tanggal pemuatan
Oya, tidak ada pemberitahuan dari redaksi mengenai pemuatan ini. Tapi karena Republika adalah salah satu primadonanya cerpenis. Ada banyak mensyen di twitter saya :Bunyinya begini : Cerpen Republika hari ini Istri Cerpenis @RizzaNasir, nah mensyen dari mereka (yang saya juga nggak kenal) yang ngasih tahu kalo cerpen saya ini dimuat. Kamu tahu rasanya bahagia banget tuh gimana?

Yuk kirim cerpen ke Republika!
Semangat!
Rizza Nasir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar