ISTRI
CERPENIS
Dulu aku
jatuh cinta karena cerpen-cerpennya. Ada pelet dalam kata-katanya. Memang iya,
aku jatuh cinta padanya bukan melihat wajah, pekerjaannya atau kendaraannya.
Dia tak lebih tampan dari pria kebanyakan. Bukan pegawai negeri seperti menantu
idaman ibu-ibu. Aku masih ingat, Saat ditanya oleh ayahku apa pekerjaannya
untuk menghidupiku Dia dengan lantang menjawab, “Saya cerpenis Pak”.
***
Seperti pagi
sebelum-sebelumnya, aku mengantar pisang goreng buatanku ke warung Mbak Karsi,
aku menitipkan pisang goreng yang kubuat selepas Shubuh. Resep warisan ibu,
seperempat tepung beras dan sedikit terigu, cukup membuat pisang goreng
hangatku digemari pembeli.
“Kasihan ya
Mira, harus kerja buat pisang goreng begitu, eh suaminya malah nggak kerja” aku berusaha menulikan telingaku,
“Salah sendiri dulu milih Hadi, coba kalau Mira kawin sama Ikbal anaknya Pak
Naryo, pasti sekarang dia nggak harus
hidup susah begitu”
Padahal
Shubuh tadi aku sudah berdoa, semoga ibu-ibu tak membicarakan tentang suamiku
lagi, aku sudah tak tahan dengan semua bisik-bisik itu, tapi rupanya doaku
belum terkabul sekarang. Aku memilih pergi dari warung itu, aku tak mau makan
hati pagi-pagi. Tak tahu asal muasalnya darimana, cerita tentang suamiku
seempuk pisang goreng hangat di mulut mereka. Nikmat. Lumat.
Kulihat suamiku
sudah memegang gagang sapu dan tersenyum padaku, “Habis jalan-jalan pagi ya Dik!”
Begitu sapanya dengan senyum khasnya. Aku hanya memandangnya sebentar, membalas
senyum sedikit lalu masuk ke rumah. Aku ingin melihat Faiza, biasanya dia sudah
bangun sepagi ini. Faiza putri kami, lahir enam bulan lalu. Kulihat Faiza sudah bermain dengan pena di dipan.
Pena itu sudah basah dibagian punggungnya, pasti sudah berkali-kali masuk di
mulutnya. Inilah rumahku, pena ada dimana-mana.
Kugendong
putriku, setiap pagi aku suka memandangi wajahnya. Pipi yang tirus seperti
ayahnya, hidung yang mancung seperti ayahnya, rambut yang lebat separti
ayahnya. Semua seperti ayahnya, tak ada yang sepertiku. Kupastikan kelak dia
lebih ayu dariku. Lalu kulihat Faiza memandangku dan tersenyum lebar. Senyum
yang menular padaku.
“Nah
gitu dong senyum” suara Mas Hadi mengagetkanku, “ada apa Dik?” Mas Hadi
mengambil Faiza dari gendongaku.
“Mas, Mira
buatin kopi ya, Mas belum buat kopi kan pagi ini? Mira buatin ya! masak Mas Hadi tiap hari buat kopi sendiri,
Mira kan jadi malu” aku mengucapkan kata itu sambil berjalan ke dapur
“Malu sama
siapa Bu” Mas Hadi menguntit di belakangku, memanggilku ‘Bu’ begitulah Faiza memanggilku
jika sudah bisa bicara nanti.
“Malu sama
Ayah lah, kan seharusnya ibu yang
buatin ayah kopi, istri kan seharusnya begitu” aku kini memanggilnya ‘Ayah’ begitulah Faiza memanggilnya jika sudah bisa
bicara nanti.
“Aku menikahimu untuk jadi temanku, istri dan
ibu dari anakku Dik, untuk apa harus terbebani hal yang bisa kulakukan sendiri?
Kamu istriku bukan pembantuku” pandangannya menusuk mataku, aku terdiam.
***
Jujur saja, selama ini peranku sebagai istri
mungkin hanya melahirkan dan menyusui Faiza, sementara tugas rumah tangga selalu
kami kerjakan berdua. Membersihkan rumah, mencuci, menjemur, memasak semuanya
kami lakukan bersama. Bahkan saat aku hamil tua, suamiku yang lebih banyak
mengerjakan itu semua.
Suamiku
selalu ada untukku, selalu di rumah bersamaku. Kadang-kadang ada undangan
menjadi pemateri menulis adik-adik di almamaternya. Sekedar berbagi ilmu dan
melepas kangen, begitu katanya. Selebihnya, suamiku selalu di rumah layaknya
ibu rumah tangga. Untuk itulah semua orang menggunjingnya lelaki tunakarya.
Pengangguran dan tak berguna, “Apa gunanya punya suami kalau tak bekerja?” itu
yang kudengar dari mulut mereka.
Ingin
kuteriakkan ke semua orang bahwa suamiku tidak tunakarya. Dia bekerja! Dia
bekerja! Dia menulis apa saja yang ada dipikirannya ke dalam blocknote lalu
menyalinnya ke laptop. Lima belas menit, 30 menit, satu jam, dua jam. Kadang
dia beranjak dari depan laptopnya, berjalan mondar-mandir seperti setrika.
Itulah sebabnya, di rumahku pena ada dimana-mana.
Dia
benar-benar gila membaca dan menulis. Di depan laptopnya jemarinya menari.
Suara ‘pletik-pletik’ dari laptonya terdengar seperti langkah kaki yang
memburu. Kadang ‘pletik-pletik’ itu berhenti, mungkin suamiku sedang berpikir,
entah tentang apa, lalu melanjutkan lagi, lagi dan lagi.
Suamiku
seorang cerpenis. Penulis cerita pendek. Cerita pendek adalah cerita yang habis
dibaca sekali duduk. Itu saja pelajaran sekolah tentang cerpen yang masih
kuingat hingga kini. Jika kutanya mengapa dia lebih menyukai menulis cerpen
daripada novel dia hanya tersenyum.
“Ada apa Dik, kamu belum menjawab pertanyaanku
tadi?” Mas Hadi lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Kopi pagi yang kubuatkan
untuknya utuh dan Faiza sudah lelap. Semilir pagi membuat bayiku terlelap lagi “Nggak
ada apa-apa Mas, sudah Mas mandi sana, bau tuh” kataku meledeknya.
“Sekali lagi
Mas tanya Dik”, dia memandang mataku lekat “ada apa?” Semenit, tiga menit aku
terdiam. Mas Hadi berlalu meninggalkan aku.
***
Aku harus
bilang apa ke Mas Hadi? Bilang kalau sejak beberapa hari yang lalu di telah
menjadi selebriti ibu-ibu? Bilang kalau dia dicap lelaki tunakarya dan tak ada
gunanya sebagai lelaki? Ah, itu pasti menyakitkan sekali, harga dirinya sebagai
lelaki akan koyak.
Aku yakin
Mas Hadi belum pernah mendengar gunjingan murahan ini sebelumnya, karena
aktivitas Mas Hadi hanya rumah, masjid dan memenuhi undangan tetangga untuk doa
besama atau kerja bakti. Semua temannya lelaki, rasanya tak mungkin lelaki membicarakan hal yang mengoyak harga diri mereka sendiri. Lagipula mulut lelaki tak
seelastis mulut perempuan.
***
Nana teman
kuliahku pernah meneleponku, dia menceritakan suaminya yang baru saja diangkat
jadi PNS sedangkan Irma, suaminya seorang pembisnis yang punya ratusan pegawai.
Sebagai teman yang baik aku mengucapkan selamat atas keberhasilan suami mereka
dengan karirnya, tapi sebagai perempuan dan istri ada rasa iri yang datang
menepi hati.
Dua bulan
ini, tulisan Mas Hadi tak ada yang dimuat di koran atau majalah manapun.
Praktis tak ada serupiah pun masuk ke rekeningnya sebagai nafkah untukku dan Faiza.
Aku harus menghemat uang honor tulisan dua bulan lalu. Cukup tidak cukup harus
cukup, aku ingat pesan ayah, lebih baik makan seadanya daripada harus berhutang
ke tetangga.
Aku mencoba
bersabar dengan ini tapi sesabar-sabarnya istri, mana ada yang tahan dua bulan
tanpa tambahan uang? Untung saja aku rutin nyetok pisang goreng tiap pagi. Uang
dari penjualan pisang goreng itu kugunakan untuk menyambung hidup. Sebagai
istri, aku tak tega membiarkan suamiku menanggung penghidupan kami seorang diri.
Dia masih menulis
setiap hari meski tak ada satu pun yang dimuat. Disaat seperti ini aku ingin
bekerja apa saja yang gajinya bulanan, paling tidak ada pemasukan pasti, tak
seperti sekarang yang menunggu kepastian
cerpen suamiku ada di koran. Padahal kami tahu, setiap harinya redaksi menerima
ratusan cerpen.
Suamiku
selalu jingkrak-jingkrak dan mengajakku berputar seperti anak kecil setelah
menerima telepon dari redaksi yang mengabarkan cerpennya akan dimuat. Ia
senyum-senyum sendiri seperti membaca pesan singkat dari seorang kekasih ketika
teman sesama penulis mengabarkan cerpennya dimuat di koran A atau majalah B.
Matanya berbinar saat ia meminta izin padaku pergi mengisi materi kepenulisan
untuk almamaternya dulu.
Cerpennya
yang sering dimuat di media masa dan keseriusannya menekuni dunia kepenulisan membuatnya
dinilai bisa menjadi pemateri bagi pelatihan kepenulisan yang diadakan
adik-adik kelasnya. Pulang dari acara itu dengan mata berbinar dia menceritakan
apa saja yang ia berikan selama materi berlangsung, pertanyaan-pertanyaan apa
saja yang peserta tanyakan. Dia ceritakan semuanya. Aku terdiam, menikmati
binar mata dan senyum girang yang tak ada habis-habisnya.
Jika
beruntung suamiku mendapatkan bingkisan dari panitia penyelenggara pelatihan
kepenulisan itu, isinya macam-macam, kadang sembako, buah-buahan hingga kue-kue. Tak
jarang ada selipan amplop di dalamnya.“Uang itu untukmu dan Faiza, simpan saja”
ucapnya setiap kali aku hendak menyerahkan uang itu padanya. Begitulah suamiku,
dia seperti tak butuh uang. Dia hanya membaca, menulis. Membaca lagi dan
menulis lagi. Semua uang yang ia dapatkan diserahkan padaku.
Biar, biar saja aku yang tahu pergunjingan ibu-ibu itu. Aku tak mau membenani pikirannya dengan hal semacam itu. Dunia imajinasinya tak boleh teracuni. Pikirannya harus tenang. Jika tenang ia akan menemukan ide tulisan yang brilian, paparan kata yang mengagumkan dan kuharap itu akan memikat hati redaktur. Aku rindu binar mata miliknya. Binar bahagia saat cerpennya ada di media massa
Biar, biar saja aku yang tahu pergunjingan ibu-ibu itu. Aku tak mau membenani pikirannya dengan hal semacam itu. Dunia imajinasinya tak boleh teracuni. Pikirannya harus tenang. Jika tenang ia akan menemukan ide tulisan yang brilian, paparan kata yang mengagumkan dan kuharap itu akan memikat hati redaktur. Aku rindu binar mata miliknya. Binar bahagia saat cerpennya ada di media massa
***
“Ayah, Faiza sudah mandi nih Yah, sudah cantik
dan wangi” aku sengaja mencari suamiku, biar dia yang mengajak main Faiza,
sementara aku akan mencuci baju. Kuletakkan Faiza dipunggung Mas Hadi yang
tengkurap di karpet. Faiza bergerak-gerak, namun Mas Hadi diam saja. Tertidur. Di
bawah kepalanya ada buku dan didepannya microsoft word masih menyala, ada
rancangan naskah cerpen yang baru dibuatnya. Kubaca judulnya ‘Istri Cerpenis’.
Mataku mengabut. Kubisikkan di telinganya “Teruslah menulis Mas, jangan pernah
berhenti. Mira bangga jadi istri cerpenis sepertimu”
Jogja, April 2015-------------------
Alhamdulillah, akhirnya dimuat juga di Republika.
Saya mengirim naskah tanggal 23 April 2015 dan dimuat tanggal 3 Mei 2015, masa tunggu hanya 10 hari! Cepat kan? Alhamdulillah!
Kalau kamu mau ngirim cerpenmu juga, kirim kesini sekretariat@republika.co.id
Beri biodata lengkap, alamat dan nomer rekening di badan email.
Honornya 400.000 di potong pajak (entah berapa persen ) tinggal 370.000 yang nangkring di rekening. Once again, alhamdulillah
Tapi sabar ya, honornya baru ditransfer sebulan setelah tanggal pemuatan
Oya, tidak ada pemberitahuan dari redaksi mengenai pemuatan ini. Tapi karena Republika adalah salah satu primadonanya cerpenis. Ada banyak mensyen di twitter saya :Bunyinya begini : Cerpen Republika hari ini Istri Cerpenis @RizzaNasir, nah mensyen dari mereka (yang saya juga nggak kenal) yang ngasih tahu kalo cerpen saya ini dimuat. Kamu tahu rasanya bahagia banget tuh gimana?
Yuk kirim cerpen ke Republika!
Semangat!
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar