FREELANCE
Rizza Nasir
(masih asli dari file saya, belum lihat cetaknya)
“Kenapa kamu
tak daftar tes pegawai negeri kemarin Mas?” tanyanya, entah sudah yang
keberapa, aku sengaja nyelonong meninggalkannya. Percuma aku menjawab
pertanyaannya, dia pasti bertanya lagi, lagi dan lagi.
“Dimaass!
Kamu dengar aku nggak sih?” mulai ngambek, seperti biasa dan memang aku
sudah terbiasa. Ya, meskipun aku harus punya stok sabar yang berlebih untuk
menghadapinya.
Kata orang
perempuan memang begitu, butuh diberi perhatian, butuh segudang kesabaran.
Tentu saja, sesabar-sabarnya perempuan, emosinya pasti tidak stabil, berapapun
usianya. Terlebih saat PMS. Jadi lelaki harus sabar menghadapi perempuan,
segarang-garangnya lelaki harus sabar pada perempuannya. Bukankah begitu?
Setuju?
Baiklah,
kali ini kujelaskan mengapa Septi begitu uring-uringan akhir-akhir ini. Bukan!
Bukan karena mendekati tanggal menstruasi, tetapi karena aku sengaja tidak
menyetor berkas persyaratan tes pegawai negeri. Itu saja.
Aku cukup
mengerti, keluarga Septi adalah keluarga abdi negara, hampir semua anggota
keluarganya adalah pegawai negeri. Mbak Yuli, kakak sulungnya seorang bidan
yang cukup terkenal di kota ini, karena konsep gentle birth yang
digagasnya. Mas Agus, seorang perwira yang gagah, bajunya selalu rapi, wangi
dan berdirinya tegap sekali, sementara aku lebih suka memakai kemeja atau kaos
dengan celana jins, sepatu bertali warna biru yang paling sering kupakai. Aku
tak seformal Mas Agus dalam penampilan, casual, santai, yang penting nyaman
dipakai. Mbak Febri, kakak yang paling dekat umurnya dengan Septi seorang guru,dia
diangkat jadi pegawai negeri setahun lalu.
Oh ya, aku
belum cerita tentang orang tua Septi ya, Ayah Septi purnawirawan TNI, 69 tahun
usianya, sedangkan ibunya guru SMA, kabarnya bulan depan beliau juga akan purna
tugas. She’s family is a real servant for this country!
Tentu saja,
untuk menjadi menantu barunya, -- Iya, aku adalah pacar Septi sejak semester
satu—aku harus menjadi pegawai negeri juga. Suami Mbak Yuli camat, suami Mbak
Febri pegawai bea cukai, istri Mas Agus
bidan, menurut cerita Septi, dulu istri Mas Agus itu teman seangkatan Mbak Yuli
saat sekolah kebidanan. Kalau ini kisah cinta klise menurutku. Tapi tetap saja,
bagiku mereka semua, bapak ibu anak dan mantu adalah paket komplit. Abdi
negara!
Septi memang
menyuruhku mendaftar pegawai negeri kemarin, dia sendiri juga mendaftar, di
departemen keuangan. Sesuai jurusannya, sesuai impiannya.
“Mas, ini
lho ada pembukaan tes pegawai negeri besar-besaran tahun ini, ikut yuk! Kalau
nggak sekarang kapan lagi coba? Dengar-dengar lima tahun ke depan ada
moratoriun lho, jadi ya harus ikut tahun ini, pasti membludak pendaftarnya ya!”
belum sempat aku menjawab, Septi sudah menjelaskan panjang lebar, seperti biasa
“Kapan
jadwal tesnya?”
“Tanggal 5
dua bulan lagi. Eh, aku sama ibu disuruh daftar di departemen keungan, ternyata
boleh juga aku tinggal jauh dari orang tua. Kupikir aku hanya boleh mendaftar
lowongan pegawai yang ada di kota ini saja, eh ternyata malah boleh ikut di
departemen keuangan, kantor pusat sana Mas, di Jakarta! Kita bakal LDR dong ya
kalau aku diterima PNS” nada suaranya melemah.
“Ya sudah,
kalau memang nggak mau LDR ya nggak usah daftar PNS!”
“Ih, enak
saja, eh kamu daftar juga ya Mas, siapa tahu kita diterima di kota yang sama.
Di Jakarta! Kan seru tuh, pegawai Sabtu Minggu kan libur, jadi kita bisa
jalan-jalan. Kalau nanti kita menikah dan punya anak empat, kita bisa ajak
mereka jalan-jalan!” Aku hanya tersenyum. Khayalan Septi memang tinggi,
pikirannya selalu melayang jauh ke depan, dia selalu menjelaskan lebih dari
yang kutanyakan.
Dari awal
aku memang tak tertarik mendaftar PNS, aku tak ingin jadi pegawai. Rasanya
pasti capek sekali, pergi dari rumah jam enam pagi lalu pulang jam lima sore.
Berangkat sepagi itu untuk menghindari macet dan pulang sesore itu bisa lebih
lama lagi sampainya jika macet. Aku lebih senang freelance. Sebagai
penulis, sebagai editor, resensor atau wartawan, yang semuanya freelance. Aku
tak mau terikat dengan instansi manapun.
Septi
uring-uringan sejak tahu aku tak mengumpulkan berkas persyaratan itu. Sekarang
semua pendaftaran PNS sudah ditutup, jadi sudah tak ada kesempatan untuk
mendaftar lagi, ada lagi lima tahun ke depan, itu pun kalau pemerintah menepati
janjinya dan aku berubah pikiran, tapi sepertinya itu sulit terjadi, karena aku
sudah nyaman hidup begini.
“Mas, kamu
belum jawab pertanyaanku tadi, kenapa kamu tak setor berkas persyaratan?”
“Kamu sudah
tahu jawabannya” jawabku tegas
“Kamu tetap
ingin jadi freelance? Kamu ingin sampai tua mengandalkan cerpen-cerpen yang kamu buat itu?
Berharap ada editor majalah dan koran
yang mau menerimanya? Kamu masih menunggu telepon dari penerbit atas
novel kamu yang kamu kirim enam bulan lalu? Kamu berharap ada penulis atau
penerbit yang memakai jasamu sebagai editor? Kamu akan terus ikut-ikut lomba
menulis, lomba blog, review product dan mencari berita-berita lalu
menawarkan beritamu pada media? Sampai kapan Mas? Sampai kapan?” aku terkesiap
mendengar amarahnya, nada suaranya kali ini benar-benar sopran dan garang
dibanding uring-uringan sebelum-sebelumnya.
“Septi kamu
harusnya menger...”
“Iya aku
mengerti Mas, kamu memang mencintai dunia menulis. Tulisan kamu bagus-bagus dan
selama ini kamu cukup beruntung karena tulisan itu banyak yang tembus media,
tapi rumah tangga kita nanti, anak-anak kita tidak akan cukup makan dengan
mengandalkan honor tulisan yang tidak jelas kapan datangnya!”
“Kamu tidak
percaya dengan Tuhan? Tuhan itu pasti memberi rezeki bagi mereka yang mencari!”
nadaku meninggi, aku ingin mengembalikan kepercayaan dia pada kuasa Tuhan
“Mas, kalau
kita punya anak, kita harus beli baju mereka, dan itu tidak murah, kita harus
beli susu, beli pampers, beli buah, belum lagi kalau anak sakit, baru gede
sedikit sudah minta ini minta itu, apa honor cerpenmu cukup?” Oh, ternyata
Septi meragukan kemamampuanku menafkahi. Padahal aku sangat meyakini bahwa dia
perempuan yang paling pas untuk menjadi istriku, mengapa dia meragukanku?
“Mas, maaf,
bukannya aku meragukanmu, tapi tak bisakah kamu mengurangi egomu. Tetaplah
menulis, tapi carilah kerja yang lain, kalau tak daftar peggawai negeri
sekarang carilah kantor yang mau menerimamu menjadi pegawainya. Setidaknya
dengan itu kamu punya gaji bulanan sebagai pegangan” Septi mendekat padaku,
memegang tanganku, matanya sungguh-sungguh berharap aku mengangguk.
“Maafkan aku
Septi, bukannya aku tak mau mengikuti saranmu menjadi pegawai, memang menjadi
pegawai bukan impianku. Aku juga berhak mewujudkan impianku bukan?” aku menatap
tajam matanya, berbicara lewat sorot mata adalah caraku membuatnya tenang meski
tak lewat kata-kata. Kulepas genggam tangannya. Hening.
Sejak kecil
aku memang bermimpi menjadi penulis terlebih wartawan, melihat wartawan yang
melaporkan berita dari tempat kejadian perkara itu keren sekali menurutku waktu
itu, semakin dewasa aku benar-benar menekuni dunia pena, apa saja yang
berhubungan dengan berita dan sastra aku suka.
Selama ini
aku hidup mandiri dari menulis. Freelance. Freelance sebagai apapun,
penulis, wartawan editor, resensor, reviewer. Bukankah sastra selalu bebas?
tanpa terikat apa-apa dan tanpa utang budi pada siapa-siapa. Itulah yang
perlahan kujadikan sebagai prinsip hidupku. Aku memang tak punya jabatan apapun, tapi sebagai freelance aku
merasa benar-benar hidup. Hidup sebagai diriku sendiri. Tanpa perintah atau
tekanan dari siapapun.
Aku biasa
menuliskan apa saja, menjadi sebuah berita, esai, puisi, cerpen atau opini.
Jika membaca buku bagus, aku akan meresensinya. Saat melakoninya aku sama
sekali tak terbebani. Ringan sekali. Tenang.
“Septi,
tahukah kamu, semua penjual di pasar ini ini bukan PNS, tukang-tukang becak itu, loper
koran semuanya juga bukan PNS, tapi mereka tetap bisa tertawa kan? Bahagia kan?
Apakah mereka tak punya anak? Tentu punya, mungkin lebih banyak dari anak bapak
ibumu, tapi mereka bisa tuh, menghidupi keluarganya” kataku pada Septi,
memecah kebekuan diantara kami.
“Tapi..”
“Tapi tidak
pasti uangnya? Kurang mapan? Iya? Hey, di dunia ini apa yang pasti Septi? Tak
ada! Tak ada yang pasti, kita tak tahu pasti sampai kapan kita hidup, kita tak
tahu pasti sampai kapan pegawai negeri itu
sehat dan bisa menerima gaji bulanannya, siapa tahu bulan depan kena
stroke lalu pensiun dini. Siapa tahu kan? Kepastian hanya ada pada Tuhan Septi,
kita hanya mengusahakan, jangan kuatir akan rezeki selama kita mau mencari” aku
meyakinkannya
“Bagaimana,
kamu masih mau menjadikan aku suamimu jika aku memilih tak akan mendaftar pegawai negeri?” aku menantangnya,
kuharap dia masih mempertahankanku. Meskipun dia impulsif dan cerewet, Septi
adalah satu-satunya tempat paling nyaman tempatku pulang. Selamanya.
Septi hanya
terdiam lama sekali.
Aku menunggu
jawabannya dengan dada berdebar, dalam hati kurutuki pertanyaanku tadi,
bagaimana jika Septi memilih mundur dan membatalkan pertunangan kami? Bagaimana
jika Septi melemparkan cincin bermata jingga yang kubeli dari menabung honor
cerpen ke jalan raya? Oh.. tidak!
“Sept..”
“Mas,
Maafkan aku ya, jangan bertanya begitu lah, siapa lagi yang akan menikahi gadis
sepertiku selain kamu?” Septi menyusut air matanya. Oh aku lupa, selain
impulsif Septi juga ternasuk dramaqueen.
Lega
rasanya, ingin sekali aku memeluknya, tapi aku harus menahan diri,kami belum
menikah dan sedang di sepanjang jalan pasar besar , tukang becak disisi jalan
banyak sekali, ibu-ibu yang berbelanja apa lagi, aku tak mau memperlihatkan
pada mereka bahwa anak muda jaman sekarang pacaran kelewatan. Aku mencintainya,
untuk itulah aku menjaga kehormatannya.
Sebagai
gantinya aku mengajak Septi ke kios jajanan
pasar, bapak dan ibu pasti senang jika kami pulang membawa bothok, weci dan
tempe kacang. Kedua orang tua kami menyukai tempe kacang. Septi memasukkan beberapa jajanan ke dalam kresek, aku hanya memandangi wajahnya. Wajah
yang ayu, sifat yang impulsif dan cerewet yang menyebalkan, tetapi dia
satu-satunya perempuan yang perhatian pada kedua orang tuaku, menanyakan kabar
mereka, berkirim salam, datang saat ibuku sakit. Seolah ibuku adalah ibunya. Sifat
inilah yang semakin membuatku mencintainya lebih dalam dan mengabaikan sifatnya
yang menyebalkan. Tak ada yang membahagiakan seorang mertua, kecuali menantu
perempuan yang perhatian pada keluarga suaminya bukan?
Septi,
jangan pernah kuatir akan penghidupan Sayang, aku akan menulis lebih banyak
lagi untukmu, untuk kita dan anak-anak kita nanti. Oh iya, kenapa tak kujadikan
cerpen saja uring-uringan Septi barusan?
Karena
uring-uringannya berawal dari pilihanku menjadi freelance. Maka cerpen itu akan kuberi judul "Freelance"
saja. Ya, Freelance sepertinya judul
yang cukup menarik, aku akan aku ajak pembaca untuk tidak takut pada pilihan
hidupnya menjadi seorang freelance. Meyakinkan
mereka bahwa Tuhan selalu memberikan rezeki bagi mereka yang mencari. Bahwa
lahan rezeki untuk menjadi mapan tak harus menjadi PNS atau pegawai kantoran.
Ada banyak lahan lain yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan keluarga.
Tentu saja, yang terpenting dari semua itu, untuk semua pembaca lelaki cerpenku
nanti. Kuharap mereka bisa bekerja sesuai kata hati, tak melulu memperhatikan
idealisme orang kebanyakan. Kalaupun memilih freelance sepertiku, siapa takut?
Rizza
Nasir, Penulis Tinggal di Yogyakarta
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah... dari FLP Malang ya, Mbak?
BalasHapusAkhirnya sudah dapat versi cetaknya belum?
Mbak, Cerpen di Malang Post, ada honornya tidak ya?
BalasHapus