Sabtu, 14 Mei 2016

CERPEN FREELANCE (Malang Post, 15 Mei 2016)

FREELANCE
Rizza Nasir
(masih asli dari file saya, belum lihat cetaknya) 
“Kenapa kamu tak daftar tes pegawai negeri kemarin Mas?” tanyanya, entah sudah yang keberapa, aku sengaja nyelonong meninggalkannya. Percuma aku menjawab pertanyaannya, dia pasti bertanya lagi, lagi dan lagi.
“Dimaass! Kamu dengar aku nggak sih?” mulai ngambek, seperti biasa dan memang aku sudah terbiasa. Ya, meskipun aku harus punya stok sabar yang berlebih untuk menghadapinya.
Kata orang perempuan memang begitu, butuh diberi perhatian, butuh segudang kesabaran. Tentu saja, sesabar-sabarnya perempuan, emosinya pasti tidak stabil, berapapun usianya. Terlebih saat PMS. Jadi lelaki harus sabar menghadapi perempuan, segarang-garangnya lelaki harus sabar pada perempuannya. Bukankah begitu? Setuju?
Baiklah, kali ini kujelaskan mengapa Septi begitu uring-uringan akhir-akhir ini. Bukan! Bukan karena mendekati tanggal menstruasi, tetapi karena aku sengaja tidak menyetor berkas persyaratan tes pegawai negeri. Itu saja.

Aku cukup mengerti, keluarga Septi adalah keluarga abdi negara, hampir semua anggota keluarganya adalah pegawai negeri. Mbak Yuli, kakak sulungnya seorang bidan yang cukup terkenal di kota ini, karena konsep gentle birth yang digagasnya. Mas Agus, seorang perwira yang gagah, bajunya selalu rapi, wangi dan berdirinya tegap sekali, sementara aku lebih suka memakai kemeja atau kaos dengan celana jins, sepatu bertali warna biru yang paling sering kupakai. Aku tak seformal Mas Agus dalam penampilan, casual, santai, yang penting nyaman dipakai. Mbak Febri, kakak yang paling dekat umurnya dengan Septi seorang guru,dia diangkat jadi pegawai negeri setahun lalu.
Oh ya, aku belum cerita tentang orang tua Septi ya, Ayah Septi purnawirawan TNI, 69 tahun usianya, sedangkan ibunya guru SMA, kabarnya bulan depan beliau juga akan purna tugas. She’s family is a real servant for this country!
Tentu saja, untuk menjadi menantu barunya, -- Iya, aku adalah pacar Septi sejak semester satu—aku harus menjadi pegawai negeri juga. Suami Mbak Yuli camat, suami Mbak Febri pegawai bea cukai,  istri Mas Agus bidan, menurut cerita Septi, dulu istri Mas Agus itu teman seangkatan Mbak Yuli saat sekolah kebidanan. Kalau ini kisah cinta klise menurutku. Tapi tetap saja, bagiku mereka semua, bapak ibu anak dan mantu adalah paket komplit. Abdi negara!
Septi memang menyuruhku mendaftar pegawai negeri kemarin, dia sendiri juga mendaftar, di departemen keuangan. Sesuai jurusannya, sesuai impiannya.
“Mas, ini lho ada pembukaan tes pegawai negeri besar-besaran tahun ini, ikut yuk! Kalau nggak sekarang kapan lagi coba? Dengar-dengar lima tahun ke depan ada moratoriun lho, jadi ya harus ikut tahun ini, pasti membludak pendaftarnya ya!” belum sempat aku menjawab, Septi sudah menjelaskan panjang lebar, seperti biasa
“Kapan jadwal tesnya?”
“Tanggal 5 dua bulan lagi. Eh, aku sama ibu disuruh daftar di departemen keungan, ternyata boleh juga aku tinggal jauh dari orang tua. Kupikir aku hanya boleh mendaftar lowongan pegawai yang ada di kota ini saja, eh ternyata malah boleh ikut di departemen keuangan, kantor pusat sana Mas, di Jakarta! Kita bakal LDR dong ya kalau aku diterima PNS” nada suaranya melemah.
“Ya sudah, kalau memang nggak mau LDR ya nggak usah daftar PNS!”
“Ih, enak saja, eh kamu daftar juga ya Mas, siapa tahu kita diterima di kota yang sama. Di Jakarta! Kan seru tuh, pegawai Sabtu Minggu kan libur, jadi kita bisa jalan-jalan. Kalau nanti kita menikah dan punya anak empat, kita bisa ajak mereka jalan-jalan!” Aku hanya tersenyum. Khayalan Septi memang tinggi, pikirannya selalu melayang jauh ke depan, dia selalu menjelaskan lebih dari yang kutanyakan.
Dari awal aku memang tak tertarik mendaftar PNS, aku tak ingin jadi pegawai. Rasanya pasti capek sekali, pergi dari rumah jam enam pagi lalu pulang jam lima sore. Berangkat sepagi itu untuk menghindari macet dan pulang sesore itu bisa lebih lama lagi sampainya jika macet. Aku lebih senang freelance. Sebagai penulis, sebagai editor, resensor atau wartawan, yang semuanya freelance. Aku tak mau terikat dengan instansi manapun.
Septi uring-uringan sejak tahu aku tak mengumpulkan berkas persyaratan itu. Sekarang semua pendaftaran PNS sudah ditutup, jadi sudah tak ada kesempatan untuk mendaftar lagi, ada lagi lima tahun ke depan, itu pun kalau pemerintah menepati janjinya dan aku berubah pikiran, tapi sepertinya itu sulit terjadi, karena aku sudah nyaman hidup begini.
“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku tadi, kenapa kamu tak setor berkas persyaratan?”
“Kamu sudah tahu jawabannya” jawabku tegas
“Kamu tetap ingin jadi freelance? Kamu ingin sampai tua  mengandalkan cerpen-cerpen yang kamu buat itu? Berharap ada editor majalah dan koran  yang mau menerimanya? Kamu masih menunggu telepon dari penerbit atas novel kamu yang kamu kirim enam bulan lalu? Kamu berharap ada penulis atau penerbit yang memakai jasamu sebagai editor? Kamu akan terus ikut-ikut lomba menulis, lomba blog, review product dan mencari berita-berita lalu menawarkan beritamu pada media? Sampai kapan Mas? Sampai kapan?” aku terkesiap mendengar amarahnya, nada suaranya kali ini benar-benar sopran dan garang dibanding uring-uringan sebelum-sebelumnya.
“Septi kamu harusnya menger...”
“Iya aku mengerti Mas, kamu memang mencintai dunia menulis. Tulisan kamu bagus-bagus dan selama ini kamu cukup beruntung karena tulisan itu banyak yang tembus media, tapi rumah tangga kita nanti, anak-anak kita tidak akan cukup makan dengan mengandalkan honor tulisan yang tidak jelas kapan datangnya!”
“Kamu tidak percaya dengan Tuhan? Tuhan itu pasti memberi rezeki bagi mereka yang mencari!” nadaku meninggi, aku ingin mengembalikan kepercayaan dia pada kuasa Tuhan
“Mas, kalau kita punya anak, kita harus beli baju mereka, dan itu tidak murah, kita harus beli susu, beli pampers, beli buah, belum lagi kalau anak sakit, baru gede sedikit sudah minta ini minta itu, apa honor cerpenmu cukup?” Oh, ternyata Septi meragukan kemamampuanku menafkahi. Padahal aku sangat meyakini bahwa dia perempuan yang paling pas untuk menjadi istriku, mengapa dia meragukanku?
“Mas, maaf, bukannya aku meragukanmu, tapi tak bisakah kamu mengurangi egomu. Tetaplah menulis, tapi carilah kerja yang lain, kalau tak daftar peggawai negeri sekarang carilah kantor yang mau menerimamu menjadi pegawainya. Setidaknya dengan itu kamu punya gaji bulanan sebagai pegangan” Septi mendekat padaku, memegang tanganku, matanya sungguh-sungguh berharap aku mengangguk.
“Maafkan aku Septi, bukannya aku tak mau mengikuti saranmu menjadi pegawai, memang menjadi pegawai bukan impianku. Aku juga berhak mewujudkan impianku bukan?” aku menatap tajam matanya, berbicara lewat sorot mata adalah caraku membuatnya tenang meski tak lewat kata-kata. Kulepas genggam tangannya. Hening.
Sejak kecil aku memang bermimpi menjadi penulis terlebih wartawan, melihat wartawan yang melaporkan berita dari tempat kejadian perkara itu keren sekali menurutku waktu itu, semakin dewasa aku benar-benar menekuni dunia pena, apa saja yang berhubungan dengan berita dan sastra aku suka.
Selama ini aku hidup mandiri dari menulis. Freelance. Freelance sebagai apapun, penulis, wartawan editor, resensor, reviewer. Bukankah sastra selalu bebas? tanpa terikat apa-apa dan tanpa utang budi pada siapa-siapa. Itulah yang perlahan kujadikan sebagai prinsip hidupku. Aku memang tak punya jabatan  apapun, tapi sebagai freelance aku merasa benar-benar hidup. Hidup sebagai diriku sendiri. Tanpa perintah atau tekanan dari siapapun.
Aku biasa menuliskan apa saja, menjadi sebuah berita, esai, puisi, cerpen atau opini. Jika membaca buku bagus, aku akan meresensinya. Saat melakoninya aku sama sekali tak terbebani. Ringan sekali. Tenang.
“Septi, tahukah kamu, semua penjual di pasar ini ini  bukan PNS, tukang-tukang becak itu, loper koran semuanya juga bukan PNS, tapi mereka tetap bisa tertawa kan? Bahagia kan? Apakah mereka tak punya anak? Tentu  punya, mungkin lebih banyak dari anak bapak ibumu, tapi mereka bisa tuh, menghidupi keluarganya” kataku pada Septi, memecah kebekuan diantara kami.
“Tapi..”
“Tapi tidak pasti uangnya? Kurang mapan? Iya? Hey, di dunia ini apa yang pasti Septi? Tak ada! Tak ada yang pasti, kita tak tahu pasti sampai kapan kita hidup, kita tak tahu pasti sampai kapan pegawai negeri itu  sehat dan bisa menerima gaji bulanannya, siapa tahu bulan depan kena stroke lalu pensiun dini. Siapa tahu kan? Kepastian hanya ada pada Tuhan Septi, kita hanya mengusahakan, jangan kuatir akan rezeki selama kita mau mencari” aku meyakinkannya
“Bagaimana, kamu masih mau menjadikan aku suamimu jika aku memilih tak akan  mendaftar pegawai negeri?” aku menantangnya, kuharap dia masih mempertahankanku. Meskipun dia impulsif dan cerewet, Septi adalah satu-satunya tempat paling nyaman tempatku pulang. Selamanya.
Septi hanya terdiam lama sekali.
Aku menunggu jawabannya dengan dada berdebar, dalam hati kurutuki pertanyaanku tadi, bagaimana jika Septi memilih mundur dan membatalkan pertunangan kami? Bagaimana jika Septi melemparkan cincin bermata jingga yang kubeli dari menabung honor cerpen ke jalan raya? Oh.. tidak!
“Sept..”
“Mas, Maafkan aku ya, jangan bertanya begitu lah, siapa lagi yang akan menikahi gadis sepertiku selain kamu?” Septi menyusut air matanya. Oh aku lupa, selain impulsif Septi juga ternasuk dramaqueen.
Lega rasanya, ingin sekali aku memeluknya, tapi aku harus menahan diri,kami belum menikah dan sedang di sepanjang jalan pasar besar , tukang becak disisi jalan banyak sekali, ibu-ibu yang berbelanja apa lagi, aku tak mau memperlihatkan pada mereka bahwa anak muda jaman sekarang pacaran kelewatan. Aku mencintainya, untuk itulah aku menjaga kehormatannya.
Sebagai gantinya aku  mengajak Septi ke kios jajanan pasar, bapak dan ibu pasti senang jika kami pulang membawa bothok, weci dan tempe kacang. Kedua orang tua kami menyukai tempe kacang. Septi memasukkan beberapa jajanan ke dalam kresek, aku hanya memandangi wajahnya. Wajah yang ayu, sifat yang impulsif dan cerewet yang menyebalkan, tetapi dia satu-satunya perempuan yang perhatian pada kedua orang tuaku, menanyakan kabar mereka, berkirim salam, datang saat ibuku sakit. Seolah ibuku adalah ibunya. Sifat inilah yang semakin membuatku mencintainya lebih dalam dan mengabaikan sifatnya yang menyebalkan. Tak ada yang membahagiakan seorang mertua, kecuali menantu perempuan yang perhatian pada keluarga suaminya bukan?
Septi, jangan pernah kuatir akan penghidupan Sayang, aku akan menulis lebih banyak lagi untukmu, untuk kita dan anak-anak kita nanti. Oh iya, kenapa tak kujadikan cerpen saja uring-uringan Septi barusan?
Karena uring-uringannya berawal dari pilihanku menjadi freelance. Maka cerpen itu akan kuberi judul "Freelance" saja. Ya, Freelance sepertinya judul yang cukup menarik, aku akan aku ajak pembaca untuk tidak takut pada pilihan hidupnya menjadi seorang freelance. Meyakinkan mereka bahwa Tuhan selalu memberikan rezeki bagi mereka yang mencari. Bahwa lahan rezeki untuk menjadi mapan tak harus menjadi PNS atau pegawai kantoran. Ada banyak lahan lain yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan keluarga. Tentu saja, yang terpenting dari semua itu, untuk semua pembaca lelaki cerpenku nanti. Kuharap mereka bisa bekerja sesuai kata hati, tak melulu memperhatikan idealisme orang kebanyakan. Kalaupun memilih freelance sepertiku, siapa takut?

Rizza Nasir, Penulis Tinggal di Yogyakarta

4 komentar: