Kamis, 17 Maret 2016

Cerpen Jarit Kembang Kanthil (Radar Malang 6 Maret 2016)

Malang sudah nyaris menjadi kota metropolis. Aku tak pernah tahu mengapa hanya jalan raya sepanjang ITN, lalu belok kiri ke Jalan Gajayana yang menjadi akses satu-satunya menuju rumahku. Jika ada alternatif lain tentu aku tak akan semenderita ini. Suara klakson sudah banyak memekik, tapi aku diamkan saja klakson mobilku. Aku tahu ini tidak akan sedikit pun mengurai kemacetan. Sudah setengah jam aku terjebak, hanya maju beberapa putaran roda lalu berhenti lagi. Macet kali ini sungguh menyebalkan. Meski tak lebih macet dari musim liburan tahun baru yang lalu. Jalan Gajayana memang pusat kemacetan jika sore begini. Jam pulang kerja dan pulang kuliah. Wuih, luar biasa macet.

Mataku tertuju pada seorang perempuan lima puluh tahunan yang sedang melayani pelanggan di tepi jalan. Rambutnya digelung dan masih mengenakan jarit yang dililit dengan stagen. Oh, aku jadi teringat ibuku di Solo. Cara ibu berdandan sehari-hari, persis penjual jamu itu. Jarang sekali ada penjual jamu gendong seperti sore ini. Tanganku melambai memanggilnya. ”Jamu Bu, brotowali campur kunir ada?”
”Ada Pak,” kata penjual jamu itu, lalu menuangkan jamu pesananku di gelas. Lalu dia tergopoh-gopoh mengantarkannya ke mobilku. Aku meneguknya. Hmm. Pahit asam. Persis seperti ramuan brotowali buatan ibu.

Kuamati serius kain jarit yang dipakai penjual jamu itu, sepertinya tidak asing.Ya, tak salah lagi, itu jarit kembang kanthil! Ya, benar! Jarit kembang kanthil!


Aku mengangsur lima ribuan kepadanya. Ia tampak berbinar, ”Apa yang ibu pakai itu jarit kembang kanthil?” tanyaku. Penjual jamu itu hanya mengangguk seraya melambaikan tangan, izin untuk kembali ke jamu-jamunya di seberang.
***
Aku tidak mungkin lupa dengan jarit kembang kanthil. Jarit itulah yang kupakai di hari pernikahanku dengan Atika. Bayangkan, aku yang biasa berangkat kerja memakai celana kain, hem, dan bersepatu harus pakai jarit semacam itu. Sempat takut kalau melorot saat resepsi, untung saja perias sudah menahannya dengan sabuk berlapis emas yang membuatku serasa seperti raja. Berdampingan dengan gadis ayu yang telah sah menjadi istriku. Kalau ingat itu rasanya selalu menyenangkan.

Sejak menikah aku tinggal terpisah dari ibu. Ibu di Solo, aku di Malang. Ibu yang menyuruhku tinggal terpisah darinya. Agar semakin mandiri dan cakap jadi kepala rumah tangga begitu katanya. Aku jarang pulang. Ibu cukup mengerti, dia bahagia melihatku yang sukses dengan karir dan rukun dengan anak istriku. Itu artinya doanya terkabul. Hanya istriku saja yang uring-uringan. Aku tak punya banyak waktu untuk menemaninya piknik. Paling tidak dua bulan sekali aku selalu mengunjungi ibu, terakhir liburan tahun baru yang lalu. Bagiku mengunjungi ibu adalah kewajiban sekaligus mengajak anak istriku jalan-jalan.

”Apa jarit kembang kanthil itu masih ada Le?” tanya ibu suatu sore saat aku mengunjunginya.

”Masih Bu, disimpan Atika.”

”Jaga baik-baik jarit itu ya Le,” kata ibu seraya mengusap kepala Atika yang datang membawa singkong rebus. Melihat pemandangan itu, aku semakin bersyukur menikahi Atika, istri yang pandai mengambil hati ibu mertua, menyayangi ibuku seperti ibunya sendiri. Ibu juga sangat menyayanginya, maklum sejak dulu ibu menginginkan anak perempuan.

”Saat kalian menikah dulu kan pakai jarit kembang kanthil dan batik sogan yang mewah itu. Tapi bagi ibu, jarit kembang kanthil tetap nomor satu,” ucap ibu tampak berbinar-binar.

Ya, aku juga masih ingat betul detail jarit kembang kanthil itu, kembang kanthil atau kenanga dengan latar pethak. Putih. Jarit ini berlukis kembang kanthil yang saling berkaitan. Banyak sekali cecek-cecek halus yang menjadi isen dalam lidah atau daun bunga kanthil.

”Kalian tahu kenapa jarit kembang kanthil itu selalu harus dipakai menghadap ke bawah?” Aku dan Atika saling pandang.

”Biar apik dilihat Bu,” sahut Atika.

”Bukan! Jarit kembang kanthil itu kan mirip batik model Parang tho, dilukiskan miring dan paralel kira-kira empat puluh lima derajat. Kanthil yang saling terkait itu simbol kelanggengan. Nah, itu harus selalu dipakai merunduk menghadap ke bawah. Supaya apa? Walaupun kalian nanti wangi dan bermekaran seperti kembang kanthil, kalian harus tetap runduk. Rendah hati. Pernikahan akan langgeng dan berkecukupan tapi kalian tetap sederhana dalam kehidupan sehari-hari.”

”Oh begitu ya Mbah Putri,” tiba-tiba Dita, putriku bergelayut di lengan neneknya.

”Iya cah ayu,” kata ibu lalu mencubit pipi Dita. ”Motif jarit kembang kanthil itu juga berarti doa agar temanten menjadi orang yang selalu disenangi di pergaulan karena kesederhanaannya,” lanjut ibu.

”Dita pengen pakai jarit kembang kanthil Mbah,” rengek Dita.

”Nanti kalau sudah jadi manten ya Nduk,” Dita merengut. ***
Setengah jam di tengah kemacetan yang menyebalkan itu, akhirnya aku sampai di rumah. Kuucap salam tapi tak ada balasan. ”Ayah, sini deh Yah, lihat Dita jadi manten.”
Kulihat Dita, putriku sudah berdandan gelungan, berpakaian hitam kutubaru khas Solo dan berjarit. Jarit itu? Oh tidak! Tidak!

”Tika, apa ini jarit kembang kanthil dari ibu?”

”Iya Mas, sengaja aku potong jadi dua. Tadi di salon, jarit ukuran anak habis. Diborong semua sama teman-teman Dita, besok kan semua siswa harus pakai baju tradisional karena ada pekan budaya. Dita nggak kebagian jarit ukuran anak, yawes akhirnya aku potongkan saja jarit kembang kanthil dari ibu,” kisahnya.

Ada yang mendidih di ubun-ubun, ingin rasanya kugertak kelancangannya membagi dua jarit kembang kanthil tersebut. Itu kan jarit dari ibu, itu jarit kembang kanthil sudah diwanti-wanti oleh ibu untuk dijaga. Bagaimana bisa Atika memotongnya jadi dua bagian begini? Keterlaluan!

”Mas besok bisa datang kan ke sekolah Dita? Acaranya jam sembilan pagi, besok Dita pasti cantik sekali,” kata Atika sambil menghampiriku. Meletakkan secangkir kopi dan tahu petis pesananku tadi pagi. Aku mendadak tak berselera.

***
Kuakui sejak Atika memotong jarit kembang kanthil menjadi dua bagian itu, hubunganku dengan Atika tak seromantis dulu. Itu bermula sejak aku tak mau hadir di pekan budaya sekolah Dita. Lebih tepatnya aku tak rela melihat jarit kembang kanthil yang dipakai putriku. Lalu aku ini lebih sayang jarit atau putriku? Entahlah! Lagipula ada rapat mendadak di kantor.

Sejak hari itu Atika mulai dingin kepadaku. Padahal harusnya aku yang dingin kepadanya, marah kepadanya karena dialah yang telah lancang membagi jarit kembang kanthil menjadi dua. Tapi aku selalu tak tega memarahinya, bagaimanapun dia adalah ibu dari benihku.

Ini sudah hari kelima Atika mendiamkanku. Tak ada lagi cerita panjangnya menyambut sepulang kerja. Selepas menghidangkan kopi, dia berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa. Saat Atika dan Dita bermain boneka bersama, aku mencoba menghampiri dan ikut bermain seperti biasanya tapi Atika malah pergi ke dapur dan sibuk di sana. Tinggallah aku dan Dita bermain berdua. Aku ingin memulai bicara, tapi Atika selalu memunggungiku. Huh, Atika itu apa maunya?

Mungkinkah karena tuah jarit kembang kanthil?

Motif kembang kanthil yang saling terkait pada jarit itu memang telah terpisah menjadi dua bagian. Sempat terpikir untuk menyambungkannya kembali, tapi buat apa? Toh sudah terbagi dua, disambung bagaimanapun caranya tak akan pernah seperti semula. Baiklah, malam ini aku memutuskan tidur lagi di sofa, esok pagi jika Atika masih dingin kepadaku, aku akan ke Solo menemui ibu. Mungkin ibu bisa mencabut tuah itu. Aku cinta istriku.

Jogjakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar