JANGKAR
EMAS IBU
Kau pikir enak jadi mahasiswa akhir? Entah semester delapan,
sepuluh, duabelas, empat belas, berapapun, kau pikir enak? Kau tahu, dari semua
hari-hari dan semesterku di kampus ini, semester akhir inilah yang paling
kubenci. Ya. Kau pasti tahu alasannya. Skripsi!
Aku juga bingung,
kenapa semua mahasiswa harus membuat skripsi jika ingin lulus jadi sarjana
secara terhormat. Ya terhormat! Karena ada cara lain yang bisa kau tempuh untuk
keluar dari kampus ini. Mau kuberi tahu
caranya? Tak usah bayar uang semestermu,
lalu pulanglah ke kampung halamanmu. Beres! Tak ada lagi tugas-tugas kuliah
yang memuakkan, pun dosen-dosen yang seperti dewa. Harus dihormati dan dipatuhi
segala perintahnya. Jika tidak sesuai
dengan hatinya maka ia dengan seenaknya tak mau mengajar. Huh!
Sudahlah, aku tidak mau
mengingat dosen-dosen semester-semester lalu yang memuakkan, karena tentu saja
masih banyak dosen yang menyenangkan, humoris dan memperlakukan mahasiswanya
layaknya teman. Aku suka dosen jenis ini. Kau juga kan? Yah, setidaknya dengan
humornya aku tak pernah ngantuk lagi saat jam-jam kuliah.
Jika bukan karena
ibuku, aku tak mungkin sampai pada semester akhir ini dan harus berurusan
dengan skripsi. Jika aku tahu menjadi mahasiswa semester akhir itu begini
rasanya aku sudah tak membayarkan uang kuliah dan pulang dari semester
sebelum-sebelumnya. Tapi lagi-lagi aku teringat ibuku.
Ibuku sangat ingin aku
menjadi sarjana, beliau bangga denganku yang bisa kuliah di kota, tentu saja
karena hanya lulusan SMA, jadi aku adalah kebanggaannya. Bukankah semua ibu
mengharapkan anaknya lebih baik darinya dalam hal apapun? Nah begitu pula
ibuku!
Ibu menginginkan aku
menjadi guru, katanya menjadi guru itu investasi tanpa henti, bahkan sampai
nanti aku mati. Ibu lalu membacakan hadist Nabi yang isinya, mengatakan bahwa
hanya ada tiga hal yang tak terputus pahalanya bahkan setelah manusia itu
meninggal. Sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakannya. Tampaknya guru masuk dalam
kriteria kedua. Dan ibuku menginkan aku
punya banyak tabungan pahala untuk dibawa menjemput kematian.
Sebenarnya aku suka
melukis. Aku suka mencampur adukkan warna, lalu kugores di kanvas atau kertas
gambar yang tebal. Aku ingin jadi penerus Affandi, Popo Iskandar atau Basuki
Abdullah. Diam-diam aku sering mengumpulkan lukisan-lukisan mereka yang
tersebar di internet, aku mengamati bagaimana cara mereka memadukan warna,
detil dan teknik poles yang mereka pakai. Aku melakukannya pengamatan itu sejak
aku mulai bisa mengoperasikan google, sampai akhirnya lukisanku memenangkan
lomba yang diadakan sekolah, dikirim lagi ke tingkat yang lebih tinggi, sampai
akhirnya di tingkat provinsi, lukisanku tak juara. Tapi tak apa, meski tak menang, ada pengunjung pameran yang
tertarik untuk membeli. Kau tau rasanya lukisan terjual? Girang!
Uang lukisan itu
kugunakan untuk biaya masuk kuliah. Ibuku tentu senang, aku tak membebankan
padanya biaya masuk kuliah itu. Pun saat akhirnya aku memilih jurusan keguruan,
ibuku langsung sujud syukur dan memelukku erat. Air matanya berderai.
Diciuminya wajahku.
“Akhirnya, kamu mau
kuliah jadi guru Le, Ibuk bungah!” Kulihat mata ibuku berbinar.
Binar itu mengeluarkan bulir-bulir air mata. Bulir yang menular kepadaku.
Sebenarnya aku tak ingin menangis. Lelaki tak boleh cengeng bukan? Tapi
ternyata energi memang menular, air mata pun menular. Entah apa yang kutangisi.
Air mataku keluar begitu saja bersama dengan kecup haru dan peluk ibu yang
semakin erat.
Kejadian itu empat
tahun lalu. Kini aku benar-benar menjadi calon guru seperti harapan ibu. Tentu
saja untuk bisa menyempurnakan cita-cita ibu, aku harus menghadapi suatu masa
yang dinamakan skripsi. Masa paling melelahkan, memuakkan dan membosankan!
“Doakan semoga skripsiku cepat selesai”
Itulah jawaban yang aku
berikan akhir-akhir ini. Kujawab pertanyaan itu sekenanya, padahal dalam hati
aku tak tahu pasti kapan skripsi itu bisa selesai. Sudah tiga bulan sejak aku
menyusun proposal skripsi dan diujikan. Aku tak pernah lagi membuka file itu.
Aku belum pernah sekalipun menemui dosen pembimbing skripsiku. Aku hanya
melihat namanya saja di papan pengumuman.
Seandainya aku
tidak kuliah di keguruan ini pasti
sekarang aku sudah menjadi pelukis. Meski tak seterkenal Affandi, paling tidak
aku bisa melukis setiap hari. Tentang apa saja, sesuka hati. Tentu aku lebih
bahagia. Jujur saja selama ini aku tertekan dengan kuliahku. Hidupku seperti
terombang-ambing antara memenuhi kewajiban seorang anak untuk berbakti atau
membahagiakan diri sendiri.
Dalam hati aku
berjanji, kelak kalau aku jadi ayah, aku tak akan membebankan kemauanku pada
anakku. Aku akan membiarkan dirinya menjadi apapun yang dia suka. Apapun! Aku
sekarang memang hidup dalam jangkar ibu. Semua yang terjadi di diriku adalah
keinginan ibuku. Itu bukan karena aku tak bisa menolak atau pasrah. Aku ingin
melihat ibuku bahagia. Karena aku adalah keluarga satu-satunya miliknya.
Kuberitahu kau satu
rahasia. Aku ini dulu pernah tersangkut di atas pohon kelapa selama tiga hari
setelah tsunami. Rumahku koyak, desaku hancur. Puing-puing bangunan berserakan,
bau busuk mayat menusuk. Aku dirawat oleh seorang relawan, ternyata dia adalah
guru di sebuah kota di Pulau Jawa. Sampai akhirnya aku bertemu dengan ibuku
melalui acara TV, aku melihat ibuku di belakang wartawan yang mengabarkan
berita kecelakaan. Berkat usaha ibu guru yang mengasuhku dan kru tivi itu aku
dipertemukan dengan ibuku secara live. Sejak saat itu aku tinggal dengan ibuku.
Sejak saat itu pula ibuku ingin aku jadi guru.
Aku putranya. Akulah
harapan terakhirnya. Aku seperti seekor ikan dalam jangkar emas. Meski
menjadi guru bukan cita-citaku, jangkar ibu tetaplah jangkar emas. Jangkar yang
mahal harganya dan harus dijaga. Aku ingin berbakti padanya. Bukankah surga ada
dibawah telapak kakinya? Jangkar emas ibu
membawaku sampai pada hari ini. Hari dimana aku selalu dihantui
pertanyaan, Mas kapan lulus?
Link dapat dilihat DISINI
------------------------
Sayang sekali sekarang kesempatan untuk mengisi rubrik cerpen di website ITN Malang News sudah ditutup. Sekarang ganti tentang teknologi, minimal 300 kata. Informasi selengkapnya cek di http://itnmalangnews.com/peluang/
Honor : 100.000
------------------------
Sayang sekali sekarang kesempatan untuk mengisi rubrik cerpen di website ITN Malang News sudah ditutup. Sekarang ganti tentang teknologi, minimal 300 kata. Informasi selengkapnya cek di http://itnmalangnews.com/peluang/
Honor : 100.000
Suka, suka, suka..
BalasHapus